XIX-1. Berita-berita kuno tentang Pajang
Daerah-daerah antara Gunung Lawu
dan Merapi di daerah udik Bengawan Solo yang bermuara ke Laut Jawa di
dekat Gresik, pada zaman Jawa Kuno di bidang ekonomi dan politik kurang
penting dibandingkan dengan daerah Mataram yang terletak di sebelah
baratnya. Raja-raja Jawa-Hindu, yang selama berabad-abad sebelum dan
sesudah tahun 1000 M. memerintahkan pembangunan candi-candi yang sangat
terkenal di Jawa Tengah bagian selatan, rupanya lebih senang bersemayam
di daerah aliran Sungai Opak dan Progo, yang bermuara di Lautan Hindia,
daripada di daerah aliran Bengawan Solo.
Sebagian besar prasasti
raja-raja, yang masih tersimpan - berupa batu atau lembaran tembaga -
menyangkut tempat-tempat di Jawa Tengah bagian selatan. Kebanyakan
tempat itu terletak di daerah-daerah Mataram dan Kedu atau sekitarnya.
Amat disayangkan bahwa banyak di antara nama tempat yang disebutkan pada
prasasti-prasasti tersebut tidak dapat diketahui tempatnya. Suatu
perkecualian yang menguntungkan ialah prasasti Panambangan dari tahun
903 M. Prasasti itu mengenai penyeberangan sungai dengan perahu tambang,
karena ada jalan perdagangan lama yang bersilangan dengan bagian udik
Bengawan Solo di distrik Wonogiri sekarang. Tempatnya dapat
dilokalisir.[1] Berdasarkan prasasti ini dapat diambil kesimpulan bahwa
pada abad ke-10 daerah kekuasaan raja-raja Jawa Hindu di Mataram lama
juga meliputi daerah hulu Bengawan Solo. Dapat diduga bahwa jalan
perdagangan lama dekat Panambangan yang mernotong sungai (Bengawan Solo)
itu merupakan salah satu jalan penghubung antara Jawa Tengah bagian
selatan dan daerah-daerah di sebelah timur yang berbatasan, yaitu yang
terletak di daerah Madiun sekarang. Jalan-jalan penghubung antara daerah
sepanjang pantai selatan Jawa, yang melewati lereng-lereng selatan
gunung-gunung besar yang terletak di tengah, seperti Gunung Lawu, Wilis,
dan Semeru, penting artinya dalam sejarah politik-ekonomi di Jawa.
Pajang ialah salah satu "tanah
mahkota" Kerajaan Majapahit pada abad ke-14, dan Raja Hayam Wuruk paling
sedikit satu kali pernah melakukan perjalanan tahunan ke daerah Pajang.
Pemberitaan dalam Nagara Kertagama tidak menjelaskan tempat yang
dikunjungi Raja. Tetapi dari singkatnya berita itu timbul dugaan bahwa
pada abad ke-14 Pajang terhitung wilayah kerajaan yang tidak seberapa
penting.[2]
XIX-2. Pengging sekitar tahun 1500 M., legenda dan sejarah
Sepanjang yang dapat dilacak
kembali, di Jawa Tengah bagian selatan kira-kira dari abad ke-11 sampai
ke abad ke-15 tidak ada kerajaan yang cukup penting. Selama abad-abad
tersebut dinasti-dinasti yang memerintah daerah aliran Sungai Brantas di
Jawa Timurlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Yang terakhir di
antara dinasti raja itu adalah keluarga raja "kafir" Majapahit.
Ada petunjuk bahwa keraton
"kafir" di Majapahit pada abad ke-15 masih agak berkuasa di Jawa Tengah.
Cerita sejarah mengenai dinasti-dinasti raja Islam yang pertama
memberitakan bahwa ada pengusiran, dan bahkan pembunuhan, para penguasa
"kafir" setempat di Jepara dan Demak yang bertujuan memberikan tempat
pada pedagang-pedagang Islam yang berasal dari luar negeri.[3] Penguasa
"kafir" di Demak besar kemungkinan mempunyai hubungan - bahkan hubungan
keluarga - dengan keluarga raja Majapahit. Sebenarnya, para penguasa
Islam baru di Demak pada perempat pertama abad ke-16 masih juga mengakui
kekuasaan tertinggi maharaja "kafir" di Majapahit.
Menjelang akhir abad ke-17 atau
pada abad ke-18, di keraton raja-raja Mataram di Kartasura (yang
terletak di daerah Pajang) cerita tutur tentang asal keluarga raja
Mataram dan Pajang telah dicatat dan disusun dalam bentuk Sejarah
Keraton tentang Asal Usul.[4] Pemerintahan Sultan Pajang, dalam paruh
kedua abad ke-16, oleh para pujangga Keraton Mataram, seabad kemudian
atau lebih, dianggap sebagai prolog kekuasaan raja-raja dinasti Mataram
atas hampir seluruh Jawa. Oleh karena itu, dan juga - mungkin - karena
keraton pada perempat terakhir abad ke-17 berada di Kartasura, sejarah
lama keluarga raja Pajang dimuat juga dalam Babad Mataram. Tempat
kedudukan raja yang baru, Kartasura, dibangun sesudah tahun 1680, tidak
jauh di sebelah barat kota raja Pajang, yang sejak pemberontakan
terakhir terhadap kekuasaan Mataram pada tahun 1618 (lihat Bab XIX-8)
telah menjadi puing. Reruntuhan tersebut pasti menjadi kenang-kenangan
akan masa jaya sultan tua yang dimakamkan di Butuh itu. Dari pecahan
keramik (berasal dari Cina) yang ditemukan, kita berkesimpulan bahwa
daerah Pajang dari abad ke-14 atau ke-15 sampai permulaan abad ke-17
telah dihuni orang.
Berita-berita Portugis dan
Belanda yang sezaman menyinggung sejarah kerajaan-kerajaan Pesisir Utara
pada abad ke-16 tetapi sejarah kerajaan-kerajaan pedalaman Jawa, yaitu
Pajang dan Mataram, tidak diperhatikan. Pelaut dan pedagang asing tidak
berhubungan dengan orang Jawa di pedalaman. Oleh karena itu, tinjauan
tentang sejarah Pajang dari abad ke-15 dan ke-16 berikut ini hanya
berdasarkan cerita tutur Jawa.[5]
Keturunan Sultan Pajang berasal
dari Pengging. Reruntuhan tempat kedudukan raja yang lama ini dapat
ditunjukkan di lereng Gunung Merapi sebelah tenggara, masih termasuk
daerah aliran Bengawan Solo. Seorang raja "kafir" dari Pengging, yang
bernama Andayaningrat, konon masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan
keluarga raja Majapahit dan keturunan Patih Gajah Mada yang perkasa
itu. Sebagai hadiah atas jasanya terhadap keluarga raja, ia telah
mendapat putri Majapahit sebagai istri. Jasanya itu berupa penaklukan
kerajaan di ujung timur, yaitu Blambangan dan Bali dengan bantuan Sapu
Laga dari Probolinggo. Raja Menak Badong (Badung-Denpasar)
dikalahkannya. la mencapai kemenangan itu berkat bantuan masyarakat
bajul (buaya), yang merupakan asal usul ayahnya, Bajul Sangara dari
Semanggi. Raja gagah berani dari Pengging ini dalam legenda juga memakai
nama Jaka Sangara dan Jaka Bodo.[6]
Cerita-cerita tentang raja
Pengging itu memang menyerupai dongeng yang berlatar belakang mitos
(lihat juga Bab II-14, akhir; dan cat. 53, 54, dan 62). Namun dapat
dianggap bahwa di daerah yang terletak di udik Bengawan Solo itu pada
paruh kedua abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 telah ada kerajaan
"kafir". Penguasa-penguasanya mempunyai hubungan erat dengan Keraton
Majapahit. Kecuali peninggalan-peninggalan tempat kedudukan raja di
Pengging (di lereng Gunung Merapi), mungkin reruntuhan kompleks-kompleks
candi "kafir" di Sukuh dan Ceta (di lereng Gunung Lawu yang letaknya
berhadapan dengan Gunung Merapi) juga dapat dianggap sebagai bukti
kekuasaan dinasti tersebut itu. Ciri-ciri gaya bangunan menunjukkan
kemungkinan bahwa bangunan-bangunan di Sukuh dan Ceta itu tidak lebih
tua dari abad ke-15.
Nama lama untuk daerah Pengging
(atau daerah yang berbatasan dengan Pengging) ialah Bobodo. Nama itu
terdapat dalam kisah perjalanan yang ditulis dalam bahasa Sunda pada
abad ke-15, yang dilakukan oleh seorang peziarah "kafir", Bujangga Manik
(Noorduyn, "Bujangga Manik").[7] Nama tokoh legenda Jaka Bodo itu pasti
ada hubungannya dengan daerah Bobodo ini. Nama Semanggi dalam legenda,
tempat kedudukan raja buaya, dapat disamakan dengan Semanggi, nama desa
yang sekarang termasuk Kota Surakarta. Nama ini dipakai pula sebagai
nama tempat penyeberangan Bengawan Solo. Sungai besar (bengawan) itu
juga dinamakan Sungai Semanggi (Bengawan Semanggi). Demikian pula sungai
itu sejak permulaan abad ke-18 bernama Bengawan Solo, sebelum di Desa
Solo - pada waktu itu tidak jauh dari Desa Semanggi - dibangun keraton
baru pada dasawarsa kelima abad tersebut. Keraton itu ialah
Surakarta.[8]
Satu dan lain hal telah
menyebabkan bahwa cerita tutur Jawa mengenai kerajaan penting, Pengging,
di daerah alas Bengawan Solo pada abad ke-15 dan ke-16, dapat
dipercaya. Dapat diperkirakan bahwa pada abad ke-15, Pengging di sebelah
barat kerajaan dan Blambangan di sebelah timur kerajaan mempunyai
kedudukan yang setaraf terhadap kota raja Majapahit di Jawa Timur.
Mungkin cerita tutur tentang Andayaningrat, raja di Pengging dan
penakluk Blambangan, dapat ditinjau sesuai dengan pandangan yang
demikian tadi.
Cerita tutur Jawa Tengah yang
dibicarakan sampai sekarang ini tidak memuat petunjuk jelas tentang
adanya hubungan apa pun antara keluarga raja Pengging dari abad ke-15
dan raja-raja Mataram lama, yang kira-kira empat abad sebelumnya
seharusnya sudah memerintah di Jawa Tengah bagian selatan. Menurut
legenda, konon Jaka Sangara -yang kelak menjadi Raja Andayaningrat dari
Pengging - adalah anak raja buaya dari Semanggi (Bengawan Solo); dari
pihak ibu, ia cucu tokoh legenda Raden Juru, seorang anggota keturunan
patih Majapahit.[9] Kiranya dapat dibayangkan bahwa satu waktu raja
Majapahit pada abad ke-15 ingin memberikan hadiah kepada seorang
prajurit yang berjasa dengan menguasakan kepadanya daerah terpencil yang
belum ada rajanya pada saat itu. Tetapi ini hanya cetusan pikiran
belaka, sekadar untuk meluruskan dan merapikan pandangan.
XIX-3. Runtuhnya Kerajaan Pengging pada paruh pertama abad ke-16
Juga tentang sejarah daerah
Pajang zaman ini, hanya legenda-legenda yang tersedia yang diolah ke
dalam buku-buku sejarah di Jawa Tengah abad ke-17 dan ke-18. Hanya satu
pemberitaan dalam buku Sadjarah Banten di Jawa Barat dapat kita ambil
untuk bahan pembanding.
Dalam cerita tutur Jawa
dikatakan bahwa Raja Andayaningrat dari Pengging dan salah satu dari
kedua anak laki-lakinya, Kebo Kanigara, ikut bertempur bersama dengan
panca tanda dari Terung dan patih Gajah Mada untuk mempertahankan kota
raja Majapahit terhadap serangan "kelompok alim" Islam yang dipimpin
Sunan Kudus. Andayaningrat gugur dalam peristiwa ini. Setelah kemenangan
akhir dicapai oleh orang Islam, putranya yang kedua menggantikan
ayahnya menjadi raja di Pengging.[10] Jika cerita tutur ini dapat
dipercaya, Kerajaan Pengging rupanya masih tetap bertahan sampai
perempat kedua abad ke-16; bukankah kota raja Majapahit pada tahun 1527
direbut oleh orang Islam?
Menurut Babad Tanah Djawi,
kerajaan Pengging runtuh oleh tindakan kekerasan "Alim Ulama dari
Kudus", yang juga dengan "kelompok alim"-nya telah memerangi "kekafiran"
di Majapahit. Di Keraton Demak, karena rajanya telah dianggap sebagai
raja Islam yang sesungguhnya sesudah Majapahit menyerah, orang yakin
bahwa semua raja Jawa lainnya - terutama yang Islam - harus tunduk
kepada Demak. Menurut cerita babad, raja Demak juga mencurigai Yang
Dipertuan di Pengging; ia khawatir jika penguasa Pengging ini - karena
masih ada hubungan keluarga dengannya - memberanikan diri mengambil
kekuasaan sebagai raja (ing Pengging tilas kabupaten, sarta kapernah
santana dening Sultan Dernak, bokmenawi amikir sumeja jemeneng ratu,
Pengging bekas kabupaten, lagi pula ia masih kerabat Sultan Demak
mungkin ia berpikir ingin menjadi raja). Menurut cerita tutur Jawa,
raja-raja Demak dan Pengging masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan
keluarga raja Majapahit. Oleh karena itu, raja Demak lebih dahulu
mengutus orang kepercayaannya, Ki Wanapala, dan kemudian Sunan Kudus, ke
Pengging. Sementara para penguasa di Tingkir, Ngerang, dan Butuh telah
bersedia menyerah, Kebo Kenanga dari Pengging tetap mempertahankan
pendiriannya dalam perang lidah yang berkisar tentang "ilmu" (sami
tarung bantah ing ngelmunipun, mereka berbantah tentang ilmu kebatinan).
Akhirnya ia dibunuh oleh Sunan Kudus.[11] Karena anak laki-lakinya, Mas
Krebet, satu-satunya pewaris, masih terlalu muda - kelak menetap di
Pajang – sesudah Kebo Kenanga tidak ada penguasa lagi di Pengging.[12]
Apabila cerita ini boleh
dipercaya, tindakan kekerasan Sunan Kudus di Pengging itu (dua tahun
sesudah diutusnya Ki Wanapala) terjadi pada permulaan dasawarsa keempat
abad ke-16 (ini jika kita anggap bahwa Majapahit pada tahun 1527 telah
diduduki oleh orang-orang Islam). Tindakan Sunan Kudus yang sangat
terkenal terhadap "si bid'ah" Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan
terhadap penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar)
sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara; Yang
Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh. Itu sesuai
pula dengan sifatnya yang gagah berani dalam perang melawan kota raja
"kafir" Majapahit.[13]
Sungguh mencolok bahwa
cerita-cerita tutur Jawa yang mengenai Pengging dan Tembayat hampir
tidak berhubungan. Apabila diakui bahwa legenda-legenda itu juga
mempunyai sedikit nilai sejarah, seharusnya Kebo Kenanga itu hidup
sezaman - sungguhpun lebih muda - dengan Sunan Tembayat pertama. Sunan
Tembayat yang berasal dari Semarang itu konon untuk beberapa waktu
tinggal di Wedi, dekat Klaten (lihat Bab II-14 dan cat. 53 dan 54).
Daerah Klaten itu dahulu pasti termasuk wilayah raja-raja Pengging. Pada
paruh kedua abad ke-16 Sultan Pajang memperlihatkan rasa hormatnya
terhadap makam orang suci di Tembayat itu.
XIX-4. Jaka Tingkir, Kerajaan Pajang pada pertengahan abad ke.16
Mengenai asal dan riwayat hidup
Sultan Pajang, yang telah melanjutkan kekuasaan dinasti Demak atas Jawa
Tengah, buku-buku cerita (serat kandha) dan babad memuat banyak cerita.
Pada pokoknya, isinya mengatakan bahwa ia putra raja Pengging terakhir
yang dibunuh oleh Sunan Kudus. Waktu masih kecil ia bernama Mas Krebet,
karena pada saat lahirnya wayang beber sedang dipertunjukkan di rumah
ayahnya.[14] Pada masa remaja ia bernama Jaka Tingkir, sesuai dengan
nama Tingkir, tempat ia dibesarkan.
Jaka Tingkir telah menjadi
pahlawan dongeng di Jawa Tengah bagian selatan. Banyak cerita yang
hebat-hebat tersebar luas. la dianggap mempunyai kekuasaan atas
masyarakat buaya, demikian pula (yang diduga menjadi) kakeknya Jaka
Sangara, yaitu Raja Andayaningrat.[15]
Meskipun tidak pasti bahwa yang
kelak menjadi sultan Pajang itu berasal dari keluarga raja Pengging,
maksud untuk mengangkat raja lagi bagi daerah Pengging, sesudah
meninggalnya Kebo Kenanga, jelas terbukti dari putusan raja Demak untuk
mengusahakan supaya Jaka Tingkir menetap di Pajang. Pejuang muda ini
telah masuk keluarga raja (Demak) karena perkawinannya dengan putri
Sultan Tranggana yang muda. Menurut cerita babad, kediaman raja di
Pajang dibangun dengan mencontoh keraton di Demak.
Waktu pada tahun 1546 Sultan
Demak meninggal (dalam aksi militer - atau karena akibatnya - ke ujung
timur Jawa), konon raja Pajang yang masih muda itu - menantu raja -
selama kekacauan berkecamuk di ibu kota cepat mengambil alih
kekuasaan.[16] Menurut cerita tutur Mataram, Jaka Tingkir adalah cucu
Sunan Kalijaga dari Kadilangu, yaitu orang suci yang di Jawa Tengah
bagian selatan dianggap yang terpenting di antara Sembilan Wali. Sunan
Kalijaga rupa-rupanya telah menjadi penghulu masjid suci di Demak
sesudah Sunan Kudus. Seorang anak perempuannya telah diambil oleh Sultan
Tranggana sebagai permaisuri muda. Dari perkawinan ini lahir ratu muda
di Pajang, permaisuri Jaka Tingkir, dan adiknya yang laki-laki, Raden
Mas Timur, yang kelak menjadi Panembahan Mas di Madiun.[17] Apabila
cerita tutur itu mengandung kebenaran, maka kiranya raja Pajang yang
muda tersebut waktu bertindak di Demak telah dapat mengandalkan wibawa
rohani kakeknya Sunan Kalijaga, yang juga menjadi gurunya. Menurut
cerita tutur, putra sulung Sultan Tranggana, yang lahir dari perkawinan
yang lebih dahulu, diberi kedudukan sebagai ulama saja. la bergelar
Susuhunan Prawata.
Pada tahun 1549 Susuhunan
Prawata dibunuh atas perintah kemenakannya Aria Panangsang dari Jipang
yang merasa berhak atas tahta Kerajaan Demak. Aria Panangsang tidak lama
kemudian dikalahkan dan dibunuh dalam perang tanding oleh Jaka Tingkir
dari Pajang; Jaka Tingkir membalas dendam karena iparnya, Susuhunan
Prawata, telah dibunuh oleh Aria Panangsang. Kekuasaan Kerajaan Jipang
patah, dan kekuasaan Pajang sejak itu diakui oleh sebagian besar
pedalaman Jawa Tengah.[18] Ratu putri Kalinyamat, ipar perempuan raja
Pajang yang lebih tua (seperti halnya ratu muda Pajang, ia pun putri
Sultan Tranggana), memerintah di Jepara, dan dari situ ia memerintah
juga Pesisir Jawa sebelah barat.[19] Ki Panjawi, raja Pati, teman
seperjuangan Jaka Tingkir dalam pertempuran melawan Jipang, mengakui
kekuasaan tertinggi Pajang.[20]
Menurut cerita tutur Jawa, Aria
Panangsang dari Jipang, penuntut tahta Kerajaan Demak yang memberontak
itu, adalah murid Sunan Kudus, pejuang yang gagah berani untuk perluasan
"Bait'ul Islam". Tetapi Jaka Tingkir, Ki Panjawi, dan Sunan Prawata
dari Demak (yang telah dibunuh itu) telah mendapat bimbingan agama dari
Sunan Kalijaga dari Kadilangu. Dapat diperkirakan bahwa Jaka Tingkir
dari Pajang makin bertambah kuat keinginannya untuk bertindak dengan
kekerasan senjata terhadap Aria Panangsang, karena dengan demikian ia
juga dapat membalas dendam terhadap Sunan Kudus atas pembunuhan yang
telah dilakukan terhadap Kebo Kenanga dari Pengging, yang digantikan
Jaka Tingkir sebagai raja di Pajang. Mungkin ia masih keturunan Kebo
Kenanga.[21]
XIX-5. Kesultanan Pajang pada paruh kedua abad ke-16
Pada umumnya, mengenai sejarah
daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur pada abad ke-16, hanya
berita-berita Jawa yang tersedia. Kisah-kisah itu sebagian besar
disampaikan oleh penulis-penulis sejarah dari abad ke-17 dan ke-18, yang
menjadi pegawai raja-raja dan termasuk keluarga raja Mataram. Harus
diperhitungkan bahwa pemberitaan mereka itu mempunyai maksud tertentu:
khususnya sejarah raja-raja Mataram yang disoroti dan diwarnai dengan
cara yang menguntungkan mereka. Cerita tentang Keraton Pajang, yang
jatuh karena tindakan raja Mataram pertama, dalam cerita sejarah Mataram
terlalu berat sebelah. Cerita itu sangat merugikan Sultan Pajang, yang
dikatakan seorang pemimpin pemerintahan yang lemah, sehingga
kekalahannya itu wajar.
Sebenarnya, raja Pajang, sebagai
ahli waris utama Sultan Tranggana, telah mempertahankan kekuasaan
Kerajaan Demak dengan sebaik-baiknya di tanah pedalaman Jawa Tengah, di
Jawa Barat, dan di Jawa Timur. Dengan pemerintahan Sultan Adiwijaya dari
Pajang (begitulah namanya sebagai raja dalam cerita tutur Mataram)
dimulailah zaman sejarah Jawa yang lebih baru; pada masa ini titik berat
politik pindah dari pesisir (terutama Demak dan Surabaya) ke pedalaman.
Perpindahan itu pada akhir abad ke-16 telah mantap ketika keluarga raja
Mataram di pedalaman (lebih ke pedalaman dari Pajang) mengambil alih
kekuasaan.[22] Beralihnya titik berat politik dari pantai utara ke
pedalaman ini membawa akibat yang sangat penting untuk perkembangan
peradaban Jawa pada abad ke-18 dan ke-19 di keraton-keraton para raja
dinasti Mataram.[23]
Ada alasan untuk menerima bahwa
raja Pajang, ahli waris Kerajaan Pengging, telah menjalankan
pemerintahannya di daerah pedalaman Jawa Tengah, baik di daerah-daerah
yang di sebelah barat maupun yang di sebelah timur. Perkembangan
Kerajaan Mataram, di sebelah barat Pajang, yang masih di bawah kekuasaan
tertinggi Sultan Adiwijaya, akan dibicarakan dalam bagian kemudian.
Cerita Mataram memberitakan para penguasa setempat dari Kedu dan Bagelen
yang dalam perjalanan ke timur - untuk menyerahkan upeti tahunan
(bulu-bekti) ke Keraton Pajang - terbujuk oleh Senapati di Mataram untuk
mengakuinya sebagai raja dan tidak meneruskan perjalanannya ke Pajang.
Para kepala daerah itu mungkin sebagian adalah yang disebut
kenthol-kenthol Bagelen, yang sampai abad ke-20 masih tetap dikenal
orang (lihat cat. 291). Salah seorang dari penguasa Bagelen, Yang
Dipertuan di Bocor, ingin tetap taat kepada raja Pajang, mencoba
membunuh Senapati, tetapi percobaan pembunuhan itu gagal. Oleh
karenanya, ia yakin bahwa raja Mataram-lah yang berhak memerintah
seluruh Jawa. Dalam sejarah setempat di Pasir - suatu daerah di aliran
Sungai Serayu (sekarang daerah Banyumas) - nama Bocor disebut sebagai
tempat seorang penguasa Pasir yang murtad terhadap agama Islam dan
mengasingkan diri, karena wilayah warisannya diduduki oleh tentara
Sultan Demak yang ingin menegakkan kembali pemerintahan Islam. Mungkin
Yang Dipertuan di Bocor pada paruh kedua abad ke-16 tidak mau mengakui
begitu saja kekuasaan Senapati, karena ia berasal dari keturunan para
adipati Pasir, yang mempunyai kedudukan penting di Keraton Demak. Lain
daripada itu, dari cerita babad itu juga dapat disimpulkan bahwa
kekuasaan Sultan Pajang dalam perempat setempat di Kedu dan Bagelen,
bagian barat daya Pulau Jawa.[24]
Dalam Babad Banyumas diberitakan
bahwa Sultan Pajang telah memerintahkan untuk membunuh Yang Dipertuan
di Wirasaba (suatu daerah di sebelah utara wilayah Banyumas), yang
bernama Warga Utama. Suatu kronik Jawa menyebutkan tahun Jawa 1500 (1578
M.) sebagai tahun pendudukan Wirasaba. Apabila kedua berita ini
dibandingkan, dapat diperkirakan bahwa Keraton Pajang dalam tahun-tahun
terakhir pemerintahan Raja Adiwijaya masih ingin meneguhkan kekuasaannya
di tanah pedalaman dengan kekerasan senjata. Cerita-cerita tentang
Bocor dan Wirasaba tidak bertentangan.[25]
Raja Pajang telah memperluas
kekuasaannya di tanah pedalaman ke arah timur sampai daerah Madiun, di
daerah aliran anak Sungai Bengawan Solo yang terbesar. Raja di Madiun
ialah anak bungsu Sultan Tranggana dari Demak, dan adik ipar raja
Pajang. Tidak ada berita yang dapat memberi petunjuk bahwa Sultan Pajang
menganggap daerah Kediri juga sebagai daerah yang termasuk wilayah
mahkota kerajaannya.
Pada beberapa daftar tahun
peristiwa Jawa (seperti yang digunakan Raffles dalam Chronological
Table) terdapat catatan tentang pendudukan Blora pada tahun 1554 atau
1556 M. Kerajaan Blora, dekat Jipang, menjadi daerah perebutan pada
perempat terakhir abad ke-11. Senapati Mataram merasa mempunyai hak
pemerintahan tertinggi di daerah itu, sedangkan Surabaya menempatkan
bupatinya di sana. Mungkin pendudukan Blora pada tahun 1554 itu
merupakan episode dalam peperangan antara raja Pajang dan keluarga raja
Jipang. Pertempuran memperebutkan Sudah atau Sudu, di sebelah barat
Bojonegoro, dalam wilayah yang sama, yang disebutkan dalam berita
Belanda (dicatat lama sesudah kejadian itu), mungkin merupakan episode
yang serupa (Graaf, Senapati, hal. 42).
Berita-berita pada daftar
peristiwa tentang pertempuran memperebutkan Memenang dan Kediri pada
tahun 1577 M. dapat dihubungkan dengan pemberitaan yang telah disebut
(Bob XI-5) mengenai tampilnya Sunan Prapen dari Giri.
Konon, Sultan Adiwijaya dari
Pajang pada tahun 1581, sesudah usianya melampaui setengah umur, telah
berhasil mendapatkan pengakuan kekuasaan sebagai raja Islam dan Sultan
dari raja-raja terpenting di Jawa Timur dan Pesisir di sebelah timur.
Hal itu terjadi pada waktu berlangsung musyawarah khidmat di keraton
Sunan Prapen dari Giri itu yang sudah tua sekali. Yang hadir pada waktu
itu raja-raja dari Japan, Wirasaba (di Jawa Timur), Kediri, Surabaya,
Pasuruan, Madiun, Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Panji Wiryakrama dari
Surabaya mungkin sekitar waktu itu juga telah tampil sebagai "wedana"
atau kepala/ wali bagi raja-raja Jawa Timur dan Pesisir untuk menghadapi
Sultan Pajang. Pada umumnya hubungan antara Keraton Pajang dan
raja-raja Jawa Timur adalah bersahabat.[26] Kita ingat bahwa Panembahan
Lemah Duwur dari Aros Baya (Madura Barat) juga beristrikan seorang putri
Pajang.
Pelaut Inggris, Sir Francis
Drake, pada tahun 1580 singgah di Jawa. Namun tempat yang dikunjunginya
hanya Blambangan. Diberitakan olehnya bahwa jumlah raja di Pulau Jawa
sangat besar; tetapi hanya seorang raja yang mereka akui sebagai
penguasa tertinggi. Dapat diperkirakan bahwa yang dimaksud oleh
informannya adalah Sultan Pajang, pengganti sah raja Demak. Nama kota
rajanya tidak disebutkan.[27]
XIX-6. Pengaruh kebudayaan Keraton Pajang di jawa Tengah bagian selatan Pajang pada paruh kedua abad ke-16
Ada alasan untuk mengakui bahwa
selama pemerintahan Raja Adiwijaya dari Pajang, kesusastraan dan
kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di Demak dan Jepara lambat
laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah. Menurut cerita tutur,
pengetahuan tentang agama Islam telah tersebar di Pengging berkat
pengaruh tokoh legenda Syekh Siti Jenar. Jauh di selatan lagi penyebaran
agama dilakukan oleh Sunan Tembayat. Sunan Tembayat konon berasal dari
Semarang; ia masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja
Demak. Berabad-abad lamanya makamnya di Tembayat tetap menjadi tempat
ziarah bagi kaum Muslimin di Jawa Tengah bagian selatan. Gaya bangunan
di sana ada hubungannya dengan gaya permulaan zaman Islam abad ke-16 di
Kudus dan Kalinyamat di Jawa Tengah, dan dengan reruntuhan
bangunan-bangunan sejenisnya di Jawa Timur. Tahun-tahun yang terpahat
pada bangunan memastikan bahwa bangunan-bangunan tersebut didirikan di
Tembayat selama pemerintahan Raja Adiwijaya. Cerita tutur Jawa
menyatakan bahwa menjelang akhir hidupnya, ia pergi berziarah ke tempat
itu untuk memohon bantuan dalam perjuangannya melawan Mataram. Hal itu
dapat dianggap memberikan gambaran yang jelas tentang hubungan keagamaan
antara Keraton Pajang dan "masyarakat santri" yang telah dibentuk oleh
ulama dari Semarang itu.[28]
Di kaki Gunung Merapi, tidak
terlalu jauh dari Pengging, terdapat tempat ziarah lain, yang mungkin
pada abad ke-16 sudah juga dikunjungi oleh umat Islam. Jatinom di daerah
Klaten yang sekarang, yang dahulu termasuk wilayah Pajang, telah
terkenal karena perayaan religius tahunan yang dirayakan dengan kue apem
yang dilemparkan di atas kepala para pengunjung. Pesta itu disebut
Angka Wiyu. Kata tersebut mungkin berasal dari kata seruan suci dalam
bahasa Arab kepada Tuhan: Ya Kawiyu ('l-Azizu'l-Hamid, Yang Kuat, Yang
Dahsyat, Yang Terpuji). Pada perayaan tersebut kalimat itu harus
berulang kali diucapkan oleh orang-orang alim, seperti litani. Perlu
diselidiki apakah upacara Angka Wiyu itu ada hubungannya dengan
upacara-upacara ibadat pribumi kuno sebelum zaman Islam.[29]
Yang perlu dikemukakan lagi
ialah cerita tutur yang menjelaskan bahwa pada zaman Raja Adiwijaya dari
Pajang, pada paruh kedua abad ke-16, Pangeran Karang Gayam menulis
sajak moralistik Jawa Niti Sruti.[30] Pangeran Karang Gayam ini dalam
cerita tutur sastra Jawa mendapat julukan "Pujangga Pajang". la adik
moyang cikal bakal keturunan Karang Lo yang pada paruh kedua abad ke-18
menjadi besan keluarga raja Surakarta.[31] Nenek moyangnya, Ki Gede
Karang Lo Taji, dahulu berasal dari daerah di sekitar Taji, tempat
berdirinya "pos pabean" di jalan yang telah berabad-abad umurnya, yang
merupakan penghubung terpenting antara daerah-daerah Pengging-Pajang dan
Mataram.[32] Dari cerita tutur mengenai Niti Srud dan pengarangnya
Pangeran Karang Gayam; boleh diambil kesimpulan bahwa pada zaman
Kesultanan Pajang kesusastraan Jawa juga dihayati dan dihidupkan di Jawa
Tengah bagian selatan.
XIX-7. Berakhirnya Kesultanan Pajang pada dasawarsa ke-2 akhir abad ke-16
Menurut cerita tutur Mataram
yang bersifat sejarah, Sultan Pajang meninggal di taman kerajaannya,
sebagai akibat penyakit, kecelakaan atau karena tindakan seorang juru
taman, 'tukang kebun', tidak dikenal yang ingin berjasa kepada Senapati
Mataram.[33] Meninggalnya raja tua itu harus kita tempatkan pada tahun
1587. la dimakamkan di Butuh, suatu tempat yang tidak jauh di sebelah
barat taman Kerajaan Pajang, yang masih lama kemudian tetap dikenal
sebagai Makam Aji. Butuh adalah daerah kekuasaan salah seorang dari
empat penguasa yang - menurut cerita tutur - berkumpul di Pengging tepat
pada malam kelahiran bayi yang kelak akan menjadi sunan Pajang itu,
yaitu Jaka Tingkir.[34]
Yang menjadi ahli waris Sultan
Pajang ialah tiga putra menantu; yakni raja di Tuban, raja di Demak, dan
raja di Aros Baya, di samping putranya sendiri, Pangeran Benawa, yang
konon masih sangat muda waktu ayahnya meninggal. Menurut cerita babad,
Sunan Kudus telah menggunakan wibawa kerohaniannya agar yang diakui oleh
Keraton Pajang sebagai raja baru itu bukan anak sultan, melainkan raja
Demak. Raja Demak itu adalah Aria Pangiri, anak (atau mungkin lebih
tepat kemenakan) Susuhunan Prawata yang telah terbunuh, dan cucu Sultan
Tranggana yang putrinya telah kawin dengan Sultan Pajang yang baru
meninggal itu. Jadi, Aria Pangiri (atau Kediri) dari Demak ini, kecuali
menantu, juga kemenakan (dari pihak ibu) Sultan Adiwijaya. Pada tahun
1587 ia sudah agak tua. Mungkin yang menjadi maksud ulama dari Kudus itu
ialah mengembalikan kekuasaan di kesultanan Jawa Tengah kepada seorang
keturunan langsung Sultan Tranggana dari Demak, yang sudah meninggal
kira-kira 40 tahun sebelumnya.
Menurut cerita tutur Mataram,
raja kedua di Pajang itu benar tinggal di istana kerajaan, tetapi
dikelilingi oleh pejabat-pejabat istana yang dibawa serta dari Demak.
Anugerah dan tanah yang kemudian dibagi-bagikan kepada "orang-orang
asing" dari Pesisir itu telah membangkitkan rasa tidak puas dan iri hati
para bangsawan dan tuan tanah asal pedalaman Pajang sendiri. Pangeran
Benawa, putra almarhum sultan pertama, ahli waris pertama, dijadikan
raja di Jipang atas anjuran Sunan Kudus. Di sana Aria Panangsang
kira-kira 40 tahun sebelumnya dikalahkan oleh ayah Benawa (waktu itu
masih belum menjadi Sultan Pajang). Pangeran muda ini, karena merasa
tidak puas dengan nasibnya di tengah-tengah lingkungan yang asing
baginya, merencanakan persekutuan "jahat" dengan Senapati Mataram dan
orang-orang di Pajang yang tidak puas, mengusir raja baru yang asing
itu. Usaha ini berhasil, sesudah terjadi pertempuran singkat, pada tahun
1588. Nyawa raja Demak masih dapat ditolong, berkat permintaan belas
kasihan istrinya, seorang putri Pajang. la diikat dengan cinde (sabuk)
sutera dan dikembalikan ke Demak. Kekalahannya dalam pertempuran melawan
Senapati Mataram dan Pangeran Benawa menurut cerita babad disebabkan
oleh berbaliknya orang Pajang yang tidak puas ke pihak Mataram. Di
samping itu prajurit-prajurit sewaan yang ikut serta dari Demak teinyata
tidak dapat dipercaya. Laskar sewaan itu terdiri dari budak belian,
orang-orang Bali, Bugis, Makassar, dan golongan "peranakan", yaitu
orang-orang Cina yang berdarah campuran. Dari pemberitaan tentang adanya
prajurit-prajurit sewaan dalam tentara raja Demak dapat disimpulkan
bahwa pada perempat terakhir abad ke-16 di daerah-daerah Pesisir
kehidupan ekonomi yang menggunakan uang sebagai bahan tukar sudah lazim,
berbeda dengan hubungan-hubungan sosial di daerah pedalaman Pajang dan
Mataram.[35]
XIX-8. Raja-raja Pajang yang terakhir di bawah kekuasaan dinasti Mataram
Menurut Babad Mataram, Pangeran
Benawa dari Jipang menyerahkan hak atas warisan ayahnya kepada Senapati
Mataram, yang dianggapnya sebagai kakak. Tetapi Senapati menyatakan
keinginannya untuk tetap tinggal di Mataram; ia hanya minta "perhiasan
emas intan kerajaan" Pajang. Pangeran Benawa dikukuhkan sebagai raja
Pajang di bawah perlindungannya.
Baru setahun berlalu,
berakhirlah pemerintahan raja ketiga dari Pajang itu; ia wafat atau -
menurut cerita tutur lain - telah meninggalkan Pajang untuk membaktikan
diri pada agama di Parakan (di bagian utara daerah Kedu). Pada waktu itu
oleh Senapati Mataram kekuasaan atas Pajang telah dipercayakan kepada
salah seorang pangeran muda dari Mataram, Gagak Bening. Pangeran itu
telah memerintahkan perombakan-perombakan besar dan perluasan istana
kerajaan di Pajang. Raja Pajang keempat itu juga tidak lama memerintah.
Kira-kira pada tahun 1591, tiga tahun kemudian, ia meninggal.
Sebagai penggantinya, raja
Mataram - yang sementara itu telah diakui kekuasaannya oleh banyak raja
di Jawa Tengah - telah menunjuk Putra Pangeran Benawa, jadi cucu
Almarhum Sultan Adiwijaya sebagai raja bawahan Mataram. Raja kelima itu
masih amat muda ketika mulai memerintah. Sesudah Senapati meninggal pada
tahun 1601 dan selama pemerintahan penggantinya, Panembahan Seda-ing
Krapyak (1601-1613), Pangeran Benawa II itu memerintah Pajang tanpa
kesulitan besar.
Tetapi pada tahun 1617-1618
timbul pemberontakan besar di Pajang melawan kekuasaan Sultan Agung.
Pemberontakan itu dibantu oleh oknum-oknum yang tidak puas di Mataram.
Penindasan pasukan Mataram terhadap gerakan pemberontakan di daerah
Pajang yang lebih tua dan lebih makmur itu disertai penghancuran
besar-besaran. Kemudian penduduk desa diangkut secara paksa dalam
pembangunan kota kerajaan yang baru. Sesudah bencana itu, daerah Pajang
selama sebagian besar abad ke-17 tinggal tidak berarti di bidang politik
ekonomi, sampai ketika cucu Sultan Agung, Mangkurat II, terpaksa
meninggalkan tanah warisannya, Mataram. la memerintahkan membangun
istana kerajaan yang baru, Kartasura, di Pajang, tidak jauh dari tempat
yang kira-kira seabad sebelumnya menjadi tempat kedudukan kesultanan tua
itu.
Pada tahun 1618 raja terakhir
dari keluarga raja Pajang, sesudah menderita kekalahan dalam pertempuran
melawan Mataram, melarikan diri ke Giri dan Surabaya. Selama masih
memegang kekuasaan, keluarga raja Pajang mempunyai hubungan persahabatan
dengan keluarga-keluarga raja di Jawa Timur. Pada dasawarsa ketiga abad
ke-17, perlawanan terhadap nafsu ekspansi Sultan Agung terpusat di
daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa. Yang Dipertuan di Tambak Baya
(di wilayah Madiun), sebagai seorang raja bawahan Pajang yang terakhir,
ikut melarikan diri ke Surabaya; rupanya di Keraton Surabaya ia masih
dapat mencapai kedudukan yang agak berarti.[36]
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Piagam dari tahun 903
M. yang membahas tambangan Bengawan Solo di daerah Wonogiri, telah
diterbitkan oleh Dr. Stutterheim (Stutterheim, "Overzetveer").
[2]
Pemberitaan-pemberitaan tentang perjalanan-perjalanan Raja Hayam Wuruk
yang terdapat dalam Nagara Kertagama, telah dibicarakan dalam Pigeaud,
Java (jil. IV, hlm. 47 dst., dan hlm. 161 dst.).
[3] Pada Bab II-4, yang
membicarakan sejarah penguasa Islam kedua di Demak, diberitakan adanya
cerita tutur Banten, yang isinya menyatakan bahwa tanda Islam di Bintara
telah membunuh tuannya yang "kafir". Pada cat. 28 dikemukakan suatu
penjelasan tentang cerita tutur ini. Pada Bab II-6 telah dibicarakan
pemberitaan Tome Pires tentang keturunan Pate Unus dari Japara. Ayah
raja yang gagah berani ini kiranya telah menyuruh membunuh penguasa di
Jepara. (yang konon "kafir") pada waktu itu, dengan maksud mengambil
alih kekuasaan.
[4] Kisah yang
berbelit-belit tentang hal isi dan susunan buku-buku cerita (serat
kandha) dan cerita-cerita babad itu tidak diuraikan di sini. Dapatlah
diperkirakan bahwa beberapa buku cerita lama, seperti naskah yang isinya
telah diungkapkan oleh Brandes dalam bentuk ikhtisar (Brandes,
Pararaton, hlm. 216-230), dan Codex LOr, no. 6379 (Pigeaud, Literature,
jil.II, hlm. 356-363), berisi cerita-cerita tutur Demak dan Pajang pada
abad ke-16.
[5] Kecuali dalam
ikhtisar-ikhtisar dari buku-buku cerita yang telah disebutkan pada
catatan sebelum ini, sejarah yang bersifat legenda mengenai Pengging dan
Pajang diketahui pula dari karangan Brandes, Register, di bawah judul
"Andayaningrat" dan "Adiwijaya" (hlm. 3) dan "Kenanga" (hlm. 19).
[6] Jaka Bodo muncul dalam cerita-cerita rakyat; lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 195. Bobodo adalah nama daerah.
[7] Karangan Noorduyn,
"Ferry" berisi pemberitaan-pemberitaan sangat menarik yang berasal dari
sebuah naskah Sunda, yang belum lama berselang ditemukan dan yang sejak
paruh pertama abad ke-17 disimpan dalam Bodleian Library di Oxford, dan
sekarang diberi nama "Bujangga Manik" sesuai dengan nama peziarah
"kafir"-nya itu. Dalam karangannya Dr. Noorduyn membicarakan
berita-berita lama, antara lain dari "Bujangga Manik" tentang lintas
tambangan menyeberangi Bengawan Solo di Semanggi dan Solo, di daerah
Bobodo.
[8] Semanggi adalah nama
tempat kedudukan raja bajul (raja buaya) ayah Jaka Sangara, yang sering
disebutkan dalam ikhtisar Serat Kandha susunan Brandes (Brandes,
Pararaton, hlm. 225). Bengawan Semanggi sebagai nama Bengawan Solo di
daerah Pajang (Brandes, Register, hlm. 47) terdapat dalam uraian
mengenai mengungsinya seorang tokoh raja dari Pajang ke timur (hlm.
233), dan mengenai serbuan-serbuan musuh secara tiba-tiba dari timur di
Pajang (hlm. 310) dan di Kartasura (hlm. 625). Dalam Meinsma, Babad
(hlm. 655) - masih juga dalam zaman Kartasura - pada paruh pertama abad
ke-18, disebutkan desa Semanggi dekat Batu Rana, termasuk daerah Solo.
Demang di Batu Rana, atas perintah susuhunan di Kartasura, telah
mengusir pemberontak Pangeran Erucakra (yaitu Dipanagara I) dari
Semanggi.
[9] Dalam Serat Kandha
(Brandes, Pararaton, hlm. 218-219) disebutkan Raden Juru, adik Patih
Udara dari Majapahit. Raden Juru diceritakan beristrikan putri raja
taklukan di Probolinggo (ujung timur Jawa), kemudian sesudah ia menjadi
duda, kiranya ia bersama anak perempuannya telah memencilkan diri di
tempat keramat di Gunung Eduk, untuk membaktikan diri kepada agama.
Dalam Pigeaud, Tantu (hlm. 110) Duk ini disebutkan sebagai tempat suci
(mungkin), letaknya (mungkin) di ujung timur Jawa. Bagaimana legenda
dapat mempertemukan anak perempuan pemimpin rohani dari Duk dengan raja
bajul dari Semanggi Jawa Tengah tidaklah jelas. Sebaliknya, dapat
diperkirakan bahwa Jaka Sangara, cucu pemimpin dari Duk di ujung timur
Jawa itu, adalah seorang yang berdarah keturunan patih Majapahit. la
ikut perang di Blambangan dan Bali.
[10] Kedua cerita tutur tentang dua raja Pengging ini telah diberitakan dalam Brandes, Pararaton, hlm. 229.
[11] Sejarah kedua
bersaudara Kebo Kanigara, ajar "kafir", yang bertapa di pegunungan untuk
melakukan latihan-latihan keagamaan, dan Kebo Kenanga, raja terakhir di
Pengging, yang telah menjadi pengikut "bid'ah" dalam agama Islam,
Pangeran Siti Jenar, telah diberitakan dengan cukup panjang lebar dalam
Meinsma, Babad (hlm. 52 dan berikutnya; lihat juga Bab II-14). Kebo
Kanigara bahkan bertapa sampai di dalam kawah (Gunung Merapi?) dan ia
mati terbakar; tidak ada orang yang tahu di mana makamnya (amartapa
dateng salebeting kawah; pejahipun obong, boten kantenan kuburipun).
Mungkin legenda tentang kedua ajar bersaudara Arga Dewa dan Arga Dalem
dari Gunung Merbabu itu (lihat Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 841,
"Suluk Panepen") mempunyai sedikit hubungan pula dengan cerita tutur
Pengging ini. Ikatan persaudaraan rohani yang telah diikrarkan bersama
oleh keempat murid guru "bid'ah" dalam agama Islam Pangeran Siti Jenar,
(tiyang sakawan wau sami manjing dados sadulur, sarta kempel manahipun
dados satunggal, awit saking karsanipun Pangeran Siti Jenar), menurut
cerita-cerita babad, mengingatkan orang pada kelompok-kelompok Empat
Serangkai Suci dalam jemaah-jemaah rohani, yang agaknya telah terdapat
dalam kepercayaan rakyat "kafir" di Jawa Timur, yang pasti ialah sejak
abad ke-14. Mereka disebutkan dalam Nagara Kertagama (Pigeaud, Java,
jil. III, hlm. 91, tembang 78, bait 7, dan jil. IV, hlm. 415 dan hlm.
484 dan berikutnya). Menurut cerita-cerita babad, Empat Serangkai yang
telah menempatkan diri di bawah bimbingan Pangeran Siti Jenar itu,
terdiri dari para penguasa di Pengging, Tingkir, Butuh, dan Ngerang,
yaitu tempat-tempat yang dalam sejarah Pajang masih berkali-kali lagi
disebutkan. Sultan Pajang dimakamkan di Butuh.
Pangeran Siti Jenar disamakan
dengan Syekh Lemah Abang. Guru mistik yang menjadi tokoh legenda ini
akibat ajaran bid'ahnya yang menghujah Tuhan telah dihukum mati di atas
api unggun oleh orang-orang suci dari Masjid Demak (lihat Pigeaud,
Literature, jil. III, hlm. 387 dan 291; sebagai catatan: Siti Jenar
berarti "Tanah Kuning", dan Lemah Abang artinya: "Tanah Merah").
Hubungan yang dalam cerita-cerita babad telah terjalin antara "ajaran
bid'ah" Islam dan Empat Serangkai Suci, yang antara lain beranggotakan
Pengging, menimbulkan dugaan bahwa di tanah pedalaman Jawa, terlepas
dari pengaruh langsung kota-kota pelabuhan di pantai utara yang
penduduknya berdarah campuran, agama Islam telah dapat diterima
(mula-mula dalam bentuk mistik "bid'ah") dalam kelompok-kelompok atau
jemaah-jemaah, yang kehidupannya dikuasai oleh pemikiran-pemikiran asli
kuno tentang kehidupan.
[12] Kerajaan Pengging
mempunyai kedadukan penting dalam kisah-kisah sejarah gadungan berbentuk
puisi, Aji Pamasa dan Wita Radya, karya pujangga di Surakarta pada
akhir abad ke-19, Ranggawarsita. Karya-karya puisi ini tidak dapat
diberi nilai historis. Ikhtisar-ikhtisar kedua kisah itu dalam bahasa
Jawa telah dimuat dalam Poerwa dan Wira, Prarelan, jil. II, hlm. 147,19
dst. Ikhtisar-ikhtisar itu terbit pada tahun 1896 dan 1900. Pada waktu
itu Pengging ternyata sudah menjadi nama yang termasuk dalam dongeng
yang sudah lama silam. Ranggawarsita sendiri, yang termasuk keluarga
Yasadipura, telah mengira bahwa keturunannya mempunyai hubungan dengan
keturunan Sultan Pajang, dan karenanya mempunyai hubungan juga dengan
keturunan raja-raja Pengging.
[13] Legenda-legenda tentang Syekh Lemah Abang dan orang-orang suci lain telah dibicarakan dalam Rinkes, Heiligen.
[14] Cerita tentang
kelahiran dan masa muda calon yang kelak akan menjadi Sultan Pajang
dikisahkan dengan panjang lebar dalam Meinsma, Babad (hlm.55), dan dalam
bentuk ikhtisar diuraikan dalam Graaf, Senapati (hlm. 16). Pemberian
nama krebet untuk wayang beber, suatu jenis pentas Jawa yang jarang kita
jumpai lagi, sebenarnya hanya diketahui dari Babad Tanah Djawi ini.
Pertemuan di Pengging, yang kiranya dihadiri oleh para penguasa dari
Tingkir, Ngerang, dan Butuh untuk menyaksikan pertunjukan wayang beber,
menimbulkan dugaan bahwa pertunjukan itu mempunyai fungsi sebagai
upacara suci. Cerita tutur Jawa menganggap wayang pada umumnya sebagai
hasil ciptaan orang-orang suci dalam agama Islam. Ini tidak mungkin
benar (lihat cat. 68 dan Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 245).
Pertunjukan wayang, dan apa pun yang berkaitan dengan pertunjukan itu,
berasal dari masa sebelum zaman Islam. Berita mengenai pertunjukan
wayang beber, yang diadakan berkenaan dengan dilangsungkannya pertemuan
(yang mungkin bersifat) religius antara pengikut Pangeran Siti Jenar,
memang merupakan suatu petunjuk bahwa (mungkin) kepercayaan rakyat
sebelum zaman Islam di tanah pedalaman Jawa dan pemikiran-pemikiran
mistik "bid'ah" (yang hampir-hampir panteistis sifatnya) telah bertemu
dalam alam pertunjukan wayang yang sakral itu. Yang aneh dalam Babad
Tanah Djawi ini ialah bahwa ayahnya, Ki Gede Pengging, telah menyerahkan
anaknya kepada "saudara tuanya" dalam keimanan agama, Yang Dipertuan di
Tingkir; oleh penguasa di Tingkir anak tersebut diberi nama Krebet,
yang kelak sebagai bujang diberi julukan Jaka Tingkir, sesuai dengan
nama ayah angkatnya. Dapat diperkirakan bahwa cerita ini pada abad ke-17
telah dibuat-buat orang, dengan maksud supaya hubungan keluarga antara
Jaka Tingkir, pahlawan yang terkenal, yang kelak menjadi Sultan Pajang,
dan keluarga raja lama di Pengging dapat diterima. Mungkin Jaka Tingkir
itu bukan anak kandung Ki Gede Pengging, dan juga bukan cucu Raja
Andayaningrat. Namun cerita tentang bertemunya Empat Serangkai di
Pengging, pertunjukan wayang, dan perang lidah dengan Sunan Kudus memang
dapat dianggap sebagai suatu ungkapan tentang hubungan-hubungan
kemasyarakatan dan keagamaan di tanah pedalaman Jawa Tengah pada paruh
pertama abad ke-16, yang pada abad ke-17 belum dilupakan orang.
[15] Suatu pandangan singkat
tentang cerita-cerita ajaib dalam buku-buku cerita (serat kandha) dan
cerita-cerita babad mengenai Jaka Tingkir telah dimuat dalam
Djajadiningrat, Banten, terutama hlm. 226-228 dan 270-277. Hubungan
(keluarga) Jaka Tingkir dan Jaka Sangara dengan kaum buaya membangkitkan
ingatan pada legenda tentang raja pemakan manusia, Dewata Cengkar dari
Mendang Kamulan, tanah asal segala asal dalam dongeng mitos. Dewata
Cengkar telah diusir dari tempat kedudukannya sebagai raja oleh Ajisaka
dari negeri asing ("Rum"), dan raja tersebut selanjutnya hidup terus
scbagai Buaya Putih di Lautan Selatan. Sesudah Ajisaka berangkat
meninggalkan Jawa (kembali ke "Rum"), putra Dewata Cengkar, Daniswara,
memerintah kembali sebagai raja di Mendang Kamulan (lihat Pigeaud,
Literature, jil. II, hlm. 358). Daniswara mendapat pelajaran dari raja
ular (?) yang bijaksana, Sindula, kakeknya (Pigeaud, Literature, jil.
III, di bawah kata "Sindula" dan "Cindula"). Mungkin terdapat sedikit
hubungan antara cerita-cerita mitos Jawa Tengah tentang Mendang Kamulan
ini dan legenda-legenda Pengging dan Jaka Tingkir. Jarak antara Mendang
Kamulan di daerah Grobogan dan Pengging tidak terlalu jauh. Bahwa
tempat-tempat lama seperti Tingkir, Tarub, Sesela, dan Mendang Kamulan
letaknya berdekatan telah diketengahkan dalam Graaf, Senapati, hlm. 10
dst.
[16] Sejarah pengambilalihan
kekuasaan di Kerajaan Demak oleh raja Pajang yang muda itu sesudah
meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546, telah dibicarakan dalam
Graaf, Senapati hlm. 24-43 dan pada Bab III-2 buku ini.
[17] Padmasoesastra,
Sadjarah (hlm. 230 dst.) menyebutkan anak-anak Sultan Tranggana dari
Demak yang disebut Sultan Sah Ngalam Akbar III. Berdasarkan pemberian
gelar Islam kepada raja Demak ini, yang sebenarnya tidak biasa dipakai,
dapat diperkirakan bahwa dalam bagian Sadjarah Dalem ini, penggubahnya,
Padmasoesastra, atau salah seorang dari pendahulunya, telah mengutip
keterangan-keterangan dari daftar keturunan, yang semula telah disusun
oleh orang suci Islam, mungkin seorang penulis yang tergolong dalam
"Jemaah Suci" di Kadilangu, tempat dimakamkannya Sunan Kalijaga.
[18] Sejarah Kerajaan Jipang Panolan telah dibicarakan pada Bab IX buku ini.
[19] Dalam Bab VI buku ini diuraikan sejarah Jepara pada abad ke-16.
[20] Pemberitaan-pemberitaan bersejarah mengenai Kerajaan Pati Juwana telah dikumpulkan pada Bab IX buku ini.
[21] Hubungan (yang mungkin
kurang baik) antara keturunan para pemimpin rohani di Kudus dan
keturunan para pemimpin rohani di Kadilangu (turunan-turunan Sunan
Kalijaga, penghulu terkenal di Masjid Suci di Demak) sudah dibicarakan
dalam Bab V-2 ketika dibicarakan pendirian Kota Kudus, "kota suci".
[22] Apabila cerita tutur
Jawa mengenai asal usul Sultan Adiwijaya dari Pajang dapat dinilai
layak, yaitu bahwa ia berasal dari keturunan para penguasa di Pengging
yang mempunyai hubungan famili dengan keluarga raja Majapahit, maka
dapatlah diperkirakan bahwa Adiwijaya (pangeran dongeng Jaka Tingkir
yang terkenal dari Jawa Tengah sebelah selatan) di mata para penulis
Jawa dari abad ke-16 dan ke-17 betul-betul lebih bersifat "Jawa asli"
daripada pendahulunya, yaitu raja-raja dari Demak dan Jepara, yang
moyangnya - menurut pandangan yang kiranya dapat dianggap benar -
berasal dari "turunan Cina", atau setidak-tidaknya orang asing. Menurut
cerita tutur Jawa Tengah sebelah selatan, Ki Gede Pamanahan, moyang
keluarga raja Mataram, juga dianggap mempunyai asal usul yang "Jawa
asli". Hubungan-hubungan akrab Jaka Tingkir dengan kaum buaya, dan juga
antara Panembahan Senapati dari Mataram dan Sang Dewi dari Segara Kidul
(Laut Selatan), merupakan petunjuk-petunjuk bahwa mereka itu, sebagai
pahlawan-pahlawan mitos yang berasal dari turunan penduduk asli, telah
berhasil menduduki tempat yang sangat istimewa dalam cerita tutur
sejarah yang dikenal luas di Jawa Tengah sebelah selatan. Hat yang
serupa tidaklah diceritakan tentang Sultan Demak.
[23] Sifat yang berlawanan
di bidang kemasyarakatan, kebudayaan, dan politik antara daerah-daerah
agraris di pedalaman dan kerajaan-kerajaan di kota-kota pelabuhan, yang
terlibat dalam perdagangan internasional dan berpenduduk campuran, telah
diberitakan dalam Pigeaud, Java, jil. IV (hlm. 502 dan berikutnya), dan
dalam Pigeaud, Literature (jil. I, hlm. 158 dst.)
[24] Cerita tentang
percobaan pembunuhan oleh Ki Bocor terhadap raja Mataram, pada waktu
raja Pajang masih memerintah, terdapat dalam Meinsma, Babad (hlm. 131
dst.). Dalam cerita ini raja Mataram bernama Senapati. Ayah tokoh
historis Senapati, Ki Pamanahan, agaknya memegang kekuasaan sampai tahun
1584. Sekiranya cerita itu mempunyai dasar kebenaran, maka Senapati
Mataram yang masih muda itu telah memulai riwayat kerjanya dengan
merongrong kekuasaan raja tua dari Pajang, yang kiranya hidup sampai
tahun 1588. Sejarah Kerajaan Pasir sudah dibicarakan pada Bab II-14,
waktu diadakan pembicaraan tentang sejarah keluarga raja Demak.
[25] Babad Banyumas telah
disebutkan dalam Pigeaud, Literature (jil.11, hlm. 510) dan dalam Graaf,
Senapati (hlm. 65, catatan kaki). Wirasaba, yang terletak di daerah
aliran Sungai Serayu di daerah Banyumas yang sekarang, harap tidak
dicampuradukkan dengan Kerajaan Wirasaba yang penting di Jawa Timur, di
daerah hilir Sungai Brantas.
[26] Pertemuan para raja
Jawa Timur di Keraton Giri pada tahun 1581 telah menjadi pokok
pembicaraan pada Bab II-5 (Sejarah Sunan Prapen).
[27] Berita-berita Eropa
yang samar-samar dari abad ke-16 tentang Pajang telah dicantumkan dalam
Graaf, Senapati (hlm. 67 dst.).
[28] Cerita-cerita tutur
Jawa tentang Tembayat telah disebutkan pada Bab II-14. Ziarah Sultan
Pajang yang tidak berhasil, dikisahkan dalam Meinsma, Babad (hlm. 161).
[29] Pesta Angka Wiyu di Jatinom disebutkan dalam Codex LOr, no. 8652d, no. 16 (Pigeaud, Literature jil. 11, hlm. 495).
[30] Niti Sruti karangan
Pangeran Gayam telah diberitakan dalam Pigeaud, Literature, (jil.1, hlm.
106); dan Vreede, Catalogus (hlm. 271 dst.).
[31] Pangeran Gayam,
pujangga ing Pajang, disebutkan dalam Padmasoesastra, Sadjarah (hlm.
210), pada daftar keturunan para Yang Dipertuan di Karang Lo. Keturunan
ini kiranya berasal dari panembahan dari Jagaraga (tanah di daerah
Madiun sekarang). Asal usul panembahan ini dari Sunan Ngampel Denta di
Surabaya kiranya hanya bersifat legenda.
[32] "Pusat Pabean" Taji di
batas timur tanah Mataram berkali-kali disebut dalam Babad Tanah Djawi
(Lihat Brandes, Register, hlm. 33). Yang pantas disebutkan ialah bahwa
Taji juga terdapat pada laporan abad ke-15, yang dimuat oleh musafir
Sunda "kafir" Bujangga Manik, tentang perjalanannya menjelajahi tanah
pedalaman Jawa, yang telah dibicarakan oleh Noorduyn, "Ferry" (hlm.
471), dan Noorduyn, "Bujangga Manik". Lihat juga Bab XX-2.
[33] Akhir hidup Sultan
Pajang telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 87 dst.) Di situ
terdapat juga tinjauan mengenai pertanyaan siapa atau apa kiranya juru
taman itu, kalau itu sekiranya bukan penampakan roh, yang memakai nama
tersebut.
[34] Menurut Babad Tanah
Djawi kira-kira 30 tahun sesudah Sultan Pajang, pada tahun 1615, di
Butuh juga dimakamkan raja dari Japan (dekat daerah Mojokerto sekarang,
di Jawa Timur), yang telah gugur dalam pertempuran dekat Siwalan melawan
laskar Sultan Agung dari Mataram (lihat Graaf, Sultan Agung, hlm. 37).
Keluarga raja Pajang telah mendapat nama baik di kalangan raja-raja Jawa
Timur. Pada tahun 1628, sesudah tanah warisannya diduduki, pangeran
merdeka terakhir dari Surabaya, Pangeran Pekik, terpaksa pergi ke
Mataram untuk menyatakan takluknya kepada Sultan Agung, dan agaknya ia
lebih dulu telah memberi hormat kepada makam Sultan Pajang di Butuh
(lihat Graaf, Sultan Agung, hlm. 209).
[35] Pemerintahan raja
Pajang kedua yang agak pendek itu dan jatuhnya kerajaannya telah
dibicarakan secara panjang lebar dalam Graaf, Senapati (hlm. 91-95). Di
situ pun telah diberikan perhatian terhadap pemberitaan-pemberitaan
penting yang dimuat dalam cerita babad mengenai hubungan-hubungan
kemasyarakatan di Jawa Tengah pada paruh kedua abad ke-16. Lihat juga
Bab III-3.
[36] Dalam Graaf, Senapati
(hlm. 99-101) dan Graaf, Sultan Agung (hlm. 43-48), sejarah tanah Pajang
di bawah kekuasaan tertinggi raja-raja pertama dari Mataram telah
dibicarakan, sampai pemberontakan besar pada tahun 1617-1618, waktu
kemerdekaan keluarga raja Pajang diakhiri dengan kekerasan senjata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar