Minggu, 24 Februari 2013

Sejarah Kerajaan-Kerajaan Jawa Tengah Pedalaman, Pengging, dan Pajang pada Abad ke-16

XIX-1.    Berita-berita kuno tentang Pajang

Daerah-daerah antara Gunung Lawu dan Merapi di daerah udik Bengawan Solo yang bermuara ke Laut Jawa di dekat Gresik, pada zaman Jawa Kuno di bidang ekonomi dan politik kurang penting dibandingkan dengan daerah Mataram yang terletak di sebelah baratnya. Raja-raja Jawa-Hindu, yang selama berabad-abad sebelum dan sesudah tahun 1000 M. memerintahkan pembangunan candi-candi yang sangat terkenal di Jawa Tengah bagian selatan, rupanya lebih senang bersemayam di daerah aliran Sungai Opak dan Progo, yang bermuara di Lautan Hindia, daripada di daerah aliran Bengawan Solo.

Sebagian besar prasasti raja-raja, yang masih tersimpan - berupa batu atau lembaran tembaga - menyangkut tempat-tempat di Jawa Tengah bagian selatan. Kebanyakan tempat itu terletak di daerah-daerah Mataram dan Kedu atau sekitarnya. Amat disayangkan bahwa banyak di antara nama tempat yang disebutkan pada prasasti-prasasti tersebut tidak dapat diketahui tempatnya. Suatu perkecualian yang menguntungkan ialah prasasti Panambangan dari tahun 903 M. Prasasti itu mengenai penyeberangan sungai dengan perahu tambang, karena ada jalan perdagangan lama yang bersilangan dengan bagian udik Bengawan Solo di distrik Wonogiri sekarang. Tempatnya dapat dilokalisir.[1] Berdasarkan prasasti ini dapat diambil kesimpulan bahwa pada abad ke-10 daerah kekuasaan raja-raja Jawa Hindu di Mataram lama juga meliputi daerah hulu Bengawan Solo. Dapat diduga bahwa jalan perdagangan lama dekat Panambangan yang mernotong sungai (Bengawan Solo) itu merupakan salah satu jalan penghubung antara Jawa Tengah bagian selatan dan daerah-daerah di sebelah timur yang berbatasan, yaitu yang terletak di daerah Madiun sekarang. Jalan-jalan penghubung antara daerah sepanjang pantai selatan Jawa, yang melewati lereng-lereng selatan gunung-gunung besar yang terletak di tengah, seperti Gunung Lawu, Wilis, dan Semeru, penting artinya dalam sejarah politik-ekonomi di Jawa.

Pajang ialah salah satu "tanah mahkota" Kerajaan Majapahit pada abad ke-14, dan Raja Hayam Wuruk paling sedikit satu kali pernah melakukan perjalanan tahunan ke daerah Pajang. Pemberitaan dalam Nagara Kertagama tidak menjelaskan tempat yang dikunjungi Raja. Tetapi dari singkatnya berita itu timbul dugaan bahwa pada abad ke-14 Pajang terhitung wilayah kerajaan yang tidak seberapa penting.[2]



XIX-2.    Pengging sekitar tahun 1500 M., legenda dan sejarah

Sepanjang yang dapat dilacak kembali, di Jawa Tengah bagian selatan kira-kira dari abad ke-11 sampai ke abad ke-15 tidak ada kerajaan yang cukup penting. Selama abad-abad tersebut dinasti-dinasti yang memerintah daerah aliran Sungai Brantas di Jawa Timurlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Yang terakhir di antara dinasti raja itu adalah keluarga raja "kafir" Majapahit.

 Ada petunjuk bahwa keraton "kafir" di Majapahit pada abad ke-15 masih agak berkuasa di Jawa Tengah. Cerita sejarah mengenai dinasti-dinasti raja Islam yang pertama memberitakan bahwa ada pengusiran, dan bahkan pembunuhan, para penguasa "kafir" setempat di Jepara dan Demak yang bertujuan memberikan tempat pada pedagang-pedagang Islam yang berasal dari luar negeri.[3] Penguasa "kafir" di Demak besar kemungkinan mempunyai hubungan - bahkan hubungan keluarga - dengan keluarga raja Majapahit. Sebenarnya, para penguasa Islam baru di Demak pada perempat pertama abad ke-16 masih juga mengakui kekuasaan tertinggi maharaja "kafir" di Majapahit.

Menjelang akhir abad ke-17 atau pada abad ke-18, di keraton raja-raja Mataram di Kartasura (yang terletak di daerah Pajang) cerita tutur tentang asal keluarga raja Mataram dan Pajang telah dicatat dan disusun dalam bentuk Sejarah Keraton tentang Asal Usul.[4] Pemerintahan Sultan Pajang, dalam paruh kedua abad ke-16, oleh para pujangga Keraton Mataram, seabad kemudian atau lebih, dianggap sebagai prolog kekuasaan raja-raja dinasti Mataram atas hampir seluruh Jawa. Oleh karena itu, dan juga - mungkin - karena keraton pada perempat terakhir abad ke-17 berada di Kartasura, sejarah lama keluarga raja Pajang dimuat juga dalam Babad Mataram. Tempat kedudukan raja yang baru, Kartasura, dibangun sesudah tahun 1680, tidak jauh di sebelah barat kota raja Pajang, yang sejak pemberontakan terakhir terhadap kekuasaan Mataram pada tahun 1618 (lihat Bab XIX-8) telah menjadi puing. Reruntuhan tersebut pasti menjadi kenang-kenangan akan masa jaya sultan tua yang dimakamkan di Butuh itu. Dari pecahan keramik (berasal dari Cina) yang ditemukan, kita berkesimpulan bahwa daerah Pajang dari abad ke-14 atau ke-15 sampai permulaan abad ke-17 telah dihuni orang.

Berita-berita Portugis dan Belanda yang sezaman menyinggung sejarah kerajaan-kerajaan Pesisir Utara pada abad ke-16 tetapi sejarah kerajaan-kerajaan pedalaman Jawa, yaitu Pajang dan Mataram, tidak diperhatikan. Pelaut dan pedagang asing tidak berhubungan dengan orang Jawa di pedalaman. Oleh karena itu, tinjauan tentang sejarah Pajang dari abad ke-15 dan ke-16 berikut ini hanya berdasarkan cerita tutur Jawa.[5]

 Keturunan Sultan Pajang berasal dari Pengging. Reruntuhan tempat kedudukan raja yang lama ini dapat ditunjukkan di lereng Gunung Merapi sebelah tenggara, masih termasuk daerah aliran Bengawan Solo. Seorang raja "kafir" dari Pengging, yang bernama Andayaningrat, konon masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Majapahit dan keturunan Patih Gajah Mada yang perkasa itu. Sebagai hadiah atas jasanya terhadap keluarga raja, ia telah mendapat putri Majapahit sebagai istri. Jasanya itu berupa penaklukan kerajaan di ujung timur, yaitu Blambangan dan Bali dengan bantuan Sapu Laga dari Probolinggo. Raja Menak Badong (Badung-Denpasar) dikalahkannya. la mencapai kemenangan itu berkat bantuan masyarakat bajul (buaya), yang merupakan asal usul ayahnya, Bajul Sangara dari Semanggi. Raja gagah berani dari Pengging ini dalam legenda juga memakai nama Jaka Sangara dan Jaka Bodo.[6]

Cerita-cerita tentang raja Pengging itu memang menyerupai dongeng yang berlatar belakang mitos (lihat juga Bab II-14, akhir; dan cat. 53, 54, dan 62). Namun dapat dianggap bahwa di daerah yang terletak di udik Bengawan Solo itu pada paruh kedua abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 telah ada kerajaan "kafir". Penguasa-penguasanya mempunyai hubungan erat dengan Keraton Majapahit. Kecuali peninggalan-peninggalan tempat kedudukan raja di Pengging (di lereng Gunung Merapi), mungkin reruntuhan kompleks-kompleks candi "kafir" di Sukuh dan Ceta (di lereng Gunung Lawu yang letaknya berhadapan dengan Gunung Merapi) juga dapat dianggap sebagai bukti kekuasaan dinasti tersebut itu. Ciri-ciri gaya bangunan menunjukkan kemungkinan bahwa bangunan-bangunan di Sukuh dan Ceta itu tidak lebih tua dari abad ke-15.

Nama lama untuk daerah Pengging (atau daerah yang berbatasan dengan Pengging) ialah Bobodo. Nama itu terdapat dalam kisah perjalanan yang ditulis dalam bahasa Sunda pada abad ke-15, yang dilakukan oleh seorang peziarah "kafir", Bujangga Manik (Noorduyn, "Bujangga Manik").[7] Nama tokoh legenda Jaka Bodo itu pasti ada hubungannya dengan daerah Bobodo ini. Nama Semanggi dalam legenda, tempat kedudukan raja buaya, dapat disamakan dengan Semanggi, nama desa yang sekarang termasuk Kota Surakarta. Nama ini dipakai pula sebagai nama tempat penyeberangan Bengawan Solo. Sungai besar (bengawan) itu juga dinamakan Sungai Semanggi (Bengawan Semanggi). Demikian pula sungai itu sejak permulaan abad ke-18 bernama Bengawan Solo, sebelum di Desa Solo - pada waktu itu tidak jauh dari Desa Semanggi - dibangun keraton baru pada dasawarsa kelima abad tersebut. Keraton itu ialah Surakarta.[8]

Satu dan lain hal telah menyebabkan bahwa cerita tutur Jawa mengenai kerajaan penting, Pengging, di daerah alas Bengawan Solo pada abad ke-15 dan ke-16, dapat dipercaya. Dapat diperkirakan bahwa pada abad ke-15, Pengging di sebelah barat kerajaan dan Blambangan di sebelah timur kerajaan mempunyai kedudukan yang setaraf terhadap kota raja Majapahit di Jawa Timur. Mungkin cerita tutur tentang Andayaningrat, raja di Pengging dan penakluk Blambangan, dapat ditinjau sesuai dengan pandangan yang demikian tadi.

Cerita tutur Jawa Tengah yang dibicarakan sampai sekarang ini tidak memuat petunjuk jelas tentang adanya hubungan apa pun antara keluarga raja Pengging dari abad ke-15 dan raja-raja Mataram lama, yang kira-kira empat abad sebelumnya seharusnya sudah memerintah di Jawa Tengah bagian selatan. Menurut legenda, konon Jaka Sangara -yang kelak menjadi Raja Andayaningrat dari Pengging - adalah anak raja buaya dari Semanggi (Bengawan Solo); dari pihak ibu, ia cucu tokoh legenda Raden Juru, seorang anggota keturunan patih Majapahit.[9] Kiranya dapat dibayangkan bahwa satu waktu raja Majapahit pada abad ke-15 ingin memberikan hadiah kepada seorang prajurit yang berjasa dengan menguasakan kepadanya daerah terpencil yang belum ada rajanya pada saat itu. Tetapi ini hanya cetusan pikiran belaka, sekadar untuk meluruskan dan merapikan pandangan.



XIX-3.    Runtuhnya Kerajaan Pengging pada paruh pertama abad ke-16

Juga tentang sejarah daerah Pajang zaman ini, hanya legenda-legenda yang tersedia yang diolah ke dalam buku-buku sejarah di Jawa Tengah abad ke-17 dan ke-18. Hanya satu pemberitaan dalam buku Sadjarah Banten di Jawa Barat dapat kita ambil untuk bahan pembanding.

 Dalam cerita tutur Jawa dikatakan bahwa Raja Andayaningrat dari Pengging dan salah satu dari kedua anak laki-lakinya, Kebo Kanigara, ikut bertempur bersama dengan panca tanda dari Terung dan patih Gajah Mada untuk mempertahankan kota raja Majapahit terhadap serangan "kelompok alim" Islam yang dipimpin Sunan Kudus. Andayaningrat gugur dalam peristiwa ini. Setelah kemenangan akhir dicapai oleh orang Islam, putranya yang kedua menggantikan ayahnya menjadi raja di Pengging.[10] Jika cerita tutur ini dapat dipercaya, Kerajaan Pengging rupanya masih tetap bertahan sampai perempat kedua abad ke-16; bukankah kota raja Majapahit pada tahun 1527 direbut oleh orang Islam?

Menurut Babad Tanah Djawi, kerajaan Pengging runtuh oleh tindakan kekerasan "Alim Ulama dari Kudus", yang juga dengan "kelompok alim"-nya telah memerangi "kekafiran" di Majapahit. Di Keraton Demak, karena rajanya telah dianggap sebagai raja Islam yang sesungguhnya sesudah Majapahit menyerah, orang yakin bahwa semua raja Jawa lainnya - terutama yang Islam - harus tunduk kepada Demak. Menurut cerita babad, raja Demak juga mencurigai Yang Dipertuan di Pengging; ia khawatir jika penguasa Pengging ini - karena masih ada hubungan keluarga dengannya - memberanikan diri mengambil kekuasaan sebagai raja (ing Pengging tilas kabupaten, sarta kapernah santana dening Sultan Dernak, bokmenawi amikir sumeja jemeneng ratu, Pengging bekas kabupaten, lagi pula ia masih kerabat Sultan Demak mungkin ia berpikir ingin menjadi raja). Menurut cerita tutur Jawa, raja-raja Demak dan Pengging masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Majapahit. Oleh karena itu, raja Demak lebih dahulu mengutus orang kepercayaannya, Ki Wanapala, dan kemudian Sunan Kudus, ke Pengging. Sementara para penguasa di Tingkir, Ngerang, dan Butuh telah bersedia menyerah, Kebo Kenanga dari Pengging tetap mempertahankan pendiriannya dalam perang lidah yang berkisar tentang "ilmu" (sami tarung bantah ing ngelmunipun, mereka berbantah tentang ilmu kebatinan). Akhirnya ia dibunuh oleh Sunan Kudus.[11] Karena anak laki-lakinya, Mas Krebet, satu-satunya pewaris, masih terlalu muda - kelak menetap di Pajang – sesudah Kebo Kenanga tidak ada penguasa lagi di Pengging.[12]

Apabila cerita ini boleh dipercaya, tindakan kekerasan Sunan Kudus di Pengging itu (dua tahun sesudah diutusnya Ki Wanapala) terjadi pada permulaan dasawarsa keempat abad ke-16 (ini jika kita anggap bahwa Majapahit pada tahun 1527 telah diduduki oleh orang-orang Islam). Tindakan Sunan Kudus yang sangat terkenal terhadap "si bid'ah" Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara; Yang Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh. Itu sesuai pula dengan sifatnya yang gagah berani dalam perang melawan kota raja "kafir" Majapahit.[13]

Sungguh mencolok bahwa cerita-cerita tutur Jawa yang mengenai Pengging dan Tembayat hampir tidak berhubungan. Apabila diakui bahwa legenda-legenda itu juga mempunyai sedikit nilai sejarah, seharusnya Kebo Kenanga itu hidup sezaman - sungguhpun lebih muda - dengan Sunan Tembayat pertama. Sunan Tembayat yang berasal dari Semarang itu konon untuk beberapa waktu tinggal di Wedi, dekat Klaten (lihat Bab II-14 dan cat. 53 dan 54). Daerah Klaten itu dahulu pasti termasuk wilayah raja-raja Pengging. Pada paruh kedua abad ke-16 Sultan Pajang memperlihatkan rasa hormatnya terhadap makam orang suci di Tembayat itu.



XIX-4.    Jaka Tingkir, Kerajaan Pajang pada pertengahan abad ke.16

Mengenai asal dan riwayat hidup Sultan Pajang, yang telah melanjutkan kekuasaan dinasti Demak atas Jawa Tengah, buku-buku cerita (serat kandha) dan babad memuat banyak cerita. Pada pokoknya, isinya mengatakan bahwa ia putra raja Pengging terakhir yang dibunuh oleh Sunan Kudus. Waktu masih kecil ia bernama Mas Krebet, karena pada saat lahirnya wayang beber sedang dipertunjukkan di rumah ayahnya.[14] Pada masa remaja ia bernama Jaka Tingkir, sesuai dengan nama Tingkir, tempat ia dibesarkan.

Jaka Tingkir telah menjadi pahlawan dongeng di Jawa Tengah bagian selatan. Banyak cerita yang hebat-hebat tersebar luas. la dianggap mempunyai kekuasaan atas masyarakat buaya, demikian pula (yang diduga menjadi) kakeknya Jaka Sangara, yaitu Raja Andayaningrat.[15]

Meskipun tidak pasti bahwa yang kelak menjadi sultan Pajang itu berasal dari keluarga raja Pengging, maksud untuk mengangkat raja lagi bagi daerah Pengging, sesudah meninggalnya Kebo Kenanga, jelas terbukti dari putusan raja Demak untuk mengusahakan supaya Jaka Tingkir menetap di Pajang. Pejuang muda ini telah masuk keluarga raja (Demak) karena perkawinannya dengan putri Sultan Tranggana yang muda. Menurut cerita babad, kediaman raja di Pajang dibangun dengan mencontoh keraton di Demak.

Waktu pada tahun 1546 Sultan Demak meninggal (dalam aksi militer - atau karena akibatnya - ke ujung timur Jawa), konon raja Pajang yang masih muda itu - menantu raja - selama kekacauan berkecamuk di ibu kota cepat mengambil alih kekuasaan.[16] Menurut cerita tutur Mataram, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu, yaitu orang suci yang di Jawa Tengah bagian selatan dianggap yang terpenting di antara Sembilan Wali. Sunan Kalijaga rupa-rupanya telah menjadi penghulu masjid suci di Demak sesudah Sunan Kudus. Seorang anak perempuannya telah diambil oleh Sultan Tranggana sebagai permaisuri muda. Dari perkawinan ini lahir ratu muda di Pajang, permaisuri Jaka Tingkir, dan adiknya yang laki-laki, Raden Mas Timur, yang kelak menjadi Panembahan Mas di Madiun.[17] Apabila cerita tutur itu mengandung kebenaran, maka kiranya raja Pajang yang muda tersebut waktu bertindak di Demak telah dapat mengandalkan wibawa rohani kakeknya Sunan Kalijaga, yang juga menjadi gurunya. Menurut cerita tutur, putra sulung Sultan Tranggana, yang lahir dari perkawinan yang lebih dahulu, diberi kedudukan sebagai ulama saja. la bergelar Susuhunan Prawata.

Pada tahun 1549 Susuhunan Prawata dibunuh atas perintah kemenakannya Aria Panangsang dari Jipang yang merasa berhak atas tahta Kerajaan Demak. Aria Panangsang tidak lama kemudian dikalahkan dan dibunuh dalam perang tanding oleh Jaka Tingkir dari Pajang; Jaka Tingkir membalas dendam karena iparnya, Susuhunan Prawata, telah dibunuh oleh Aria Panangsang. Kekuasaan Kerajaan Jipang patah, dan kekuasaan Pajang sejak itu diakui oleh sebagian besar pedalaman Jawa Tengah.[18] Ratu putri Kalinyamat, ipar perempuan raja Pajang yang lebih tua (seperti halnya ratu muda Pajang, ia pun putri Sultan Tranggana), memerintah di Jepara, dan dari situ ia memerintah juga Pesisir Jawa sebelah barat.[19] Ki Panjawi, raja Pati, teman seperjuangan Jaka Tingkir dalam pertempuran melawan Jipang, mengakui kekuasaan tertinggi Pajang.[20]

Menurut cerita tutur Jawa, Aria Panangsang dari Jipang, penuntut tahta Kerajaan Demak yang memberontak itu, adalah murid Sunan Kudus, pejuang yang gagah berani untuk perluasan "Bait'ul Islam". Tetapi Jaka Tingkir, Ki Panjawi, dan Sunan Prawata dari Demak (yang telah dibunuh itu) telah mendapat bimbingan agama dari Sunan Kalijaga dari Kadilangu. Dapat diperkirakan bahwa Jaka Tingkir dari Pajang makin bertambah kuat keinginannya untuk bertindak dengan kekerasan senjata terhadap Aria Panangsang, karena dengan demikian ia juga dapat membalas dendam terhadap Sunan Kudus atas pembunuhan yang telah dilakukan terhadap Kebo Kenanga dari Pengging, yang digantikan Jaka Tingkir sebagai raja di Pajang. Mungkin ia masih keturunan Kebo Kenanga.[21]



XIX-5.    Kesultanan Pajang pada paruh kedua abad ke-16

Pada umumnya, mengenai sejarah daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur pada abad ke-16, hanya berita-berita Jawa yang tersedia. Kisah-kisah itu sebagian besar disampaikan oleh penulis-penulis sejarah dari abad ke-17 dan ke-18, yang menjadi pegawai raja-raja dan termasuk keluarga raja Mataram. Harus diperhitungkan bahwa pemberitaan mereka itu mempunyai maksud tertentu: khususnya sejarah raja-raja Mataram yang disoroti dan diwarnai dengan cara yang menguntungkan mereka. Cerita tentang Keraton Pajang, yang jatuh karena tindakan raja Mataram pertama, dalam cerita sejarah Mataram terlalu berat sebelah. Cerita itu sangat merugikan Sultan Pajang, yang dikatakan seorang pemimpin pemerintahan yang lemah, sehingga kekalahannya itu wajar.

Sebenarnya, raja Pajang, sebagai ahli waris utama Sultan Tranggana, telah mempertahankan kekuasaan Kerajaan Demak dengan sebaik-baiknya di tanah pedalaman Jawa Tengah, di Jawa Barat, dan di Jawa Timur. Dengan pemerintahan Sultan Adiwijaya dari Pajang (begitulah namanya sebagai raja dalam cerita tutur Mataram) dimulailah zaman sejarah Jawa yang lebih baru; pada masa ini titik berat politik pindah dari pesisir (terutama Demak dan Surabaya) ke pedalaman. Perpindahan itu pada akhir abad ke-16 telah mantap ketika keluarga raja Mataram di pedalaman (lebih ke pedalaman dari Pajang) mengambil alih kekuasaan.[22] Beralihnya titik berat politik dari pantai utara ke pedalaman ini membawa akibat yang sangat penting untuk perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan ke-19 di keraton-keraton para raja dinasti Mataram.[23]

Ada alasan untuk menerima bahwa raja Pajang, ahli waris Kerajaan Pengging, telah menjalankan pemerintahannya di daerah pedalaman Jawa Tengah, baik di daerah-daerah yang di sebelah barat maupun yang di sebelah timur. Perkembangan Kerajaan Mataram, di sebelah barat Pajang, yang masih di bawah kekuasaan tertinggi Sultan Adiwijaya, akan dibicarakan dalam bagian kemudian. Cerita Mataram memberitakan para penguasa setempat dari Kedu dan Bagelen yang dalam perjalanan ke timur - untuk menyerahkan upeti tahunan (bulu-bekti) ke Keraton Pajang - terbujuk oleh Senapati di Mataram untuk mengakuinya sebagai raja dan tidak meneruskan perjalanannya ke Pajang. Para kepala daerah itu mungkin sebagian adalah yang disebut kenthol-kenthol Bagelen, yang sampai abad ke-20 masih tetap dikenal orang (lihat cat. 291). Salah seorang dari penguasa Bagelen, Yang Dipertuan di Bocor, ingin tetap taat kepada raja Pajang, mencoba membunuh Senapati, tetapi percobaan pembunuhan itu gagal. Oleh karenanya, ia yakin bahwa raja Mataram-lah yang berhak memerintah seluruh Jawa. Dalam sejarah setempat di Pasir - suatu daerah di aliran Sungai Serayu (sekarang daerah Banyumas) - nama Bocor disebut sebagai tempat seorang penguasa Pasir yang murtad terhadap agama Islam dan mengasingkan diri, karena wilayah warisannya diduduki oleh tentara Sultan Demak yang ingin menegakkan kembali pemerintahan Islam. Mungkin Yang Dipertuan di Bocor pada paruh kedua abad ke-16 tidak mau mengakui begitu saja kekuasaan Senapati, karena ia berasal dari keturunan para adipati Pasir, yang mempunyai kedudukan penting di Keraton Demak. Lain daripada itu, dari cerita babad itu juga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Sultan Pajang dalam perempat setempat di Kedu dan Bagelen, bagian barat daya Pulau Jawa.[24]

Dalam Babad Banyumas diberitakan bahwa Sultan Pajang telah memerintahkan untuk membunuh Yang Dipertuan di Wirasaba (suatu daerah di sebelah utara wilayah Banyumas), yang bernama Warga Utama. Suatu kronik Jawa menyebutkan tahun Jawa 1500 (1578 M.) sebagai tahun pendudukan Wirasaba. Apabila kedua berita ini dibandingkan, dapat diperkirakan bahwa Keraton Pajang dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan Raja Adiwijaya masih ingin meneguhkan kekuasaannya di tanah pedalaman dengan kekerasan senjata. Cerita-cerita tentang Bocor dan Wirasaba tidak bertentangan.[25]

Raja Pajang telah memperluas kekuasaannya di tanah pedalaman ke arah timur sampai daerah Madiun, di daerah aliran anak Sungai Bengawan Solo yang terbesar. Raja di Madiun ialah anak bungsu Sultan Tranggana dari Demak, dan adik ipar raja Pajang. Tidak ada berita yang dapat memberi petunjuk bahwa Sultan Pajang menganggap daerah Kediri juga sebagai daerah yang termasuk wilayah mahkota kerajaannya.

Pada beberapa daftar tahun peristiwa Jawa (seperti yang digunakan Raffles dalam Chronological Table) terdapat catatan tentang pendudukan Blora pada tahun 1554 atau 1556 M. Kerajaan Blora, dekat Jipang, menjadi daerah perebutan pada perempat terakhir abad ke-11. Senapati Mataram merasa mempunyai hak pemerintahan tertinggi di daerah itu, sedangkan Surabaya menempatkan bupatinya di sana. Mungkin pendudukan Blora pada tahun 1554 itu merupakan episode dalam peperangan antara raja Pajang dan keluarga raja Jipang. Pertempuran memperebutkan Sudah atau Sudu, di sebelah barat Bojonegoro, dalam wilayah yang sama, yang disebutkan dalam berita Belanda (dicatat lama sesudah kejadian itu), mungkin merupakan episode yang serupa (Graaf, Senapati, hal. 42).

 Berita-berita pada daftar peristiwa tentang pertempuran memperebutkan Memenang dan Kediri pada tahun 1577 M. dapat dihubungkan dengan pemberitaan yang telah disebut (Bob XI-5) mengenai tampilnya Sunan Prapen dari Giri.

Konon, Sultan Adiwijaya dari Pajang pada tahun 1581, sesudah usianya melampaui setengah umur, telah berhasil mendapatkan pengakuan kekuasaan sebagai raja Islam dan Sultan dari raja-raja terpenting di Jawa Timur dan Pesisir di sebelah timur. Hal itu terjadi pada waktu berlangsung musyawarah khidmat di keraton Sunan Prapen dari Giri itu yang sudah tua sekali. Yang hadir pada waktu itu raja-raja dari Japan, Wirasaba (di Jawa Timur), Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Panji Wiryakrama dari Surabaya mungkin sekitar waktu itu juga telah tampil sebagai "wedana" atau kepala/ wali bagi raja-raja Jawa Timur dan Pesisir untuk menghadapi Sultan Pajang. Pada umumnya hubungan antara Keraton Pajang dan raja-raja Jawa Timur adalah bersahabat.[26] Kita ingat bahwa Panembahan Lemah Duwur dari Aros Baya (Madura Barat) juga beristrikan seorang putri Pajang.

Pelaut Inggris, Sir Francis Drake, pada tahun 1580 singgah di Jawa. Namun tempat yang dikunjunginya hanya Blambangan. Diberitakan olehnya bahwa jumlah raja di Pulau Jawa sangat besar; tetapi hanya seorang raja yang mereka akui sebagai penguasa tertinggi. Dapat diperkirakan bahwa yang dimaksud oleh informannya adalah Sultan Pajang, pengganti sah raja Demak. Nama kota rajanya tidak disebutkan.[27]



XIX-6.    Pengaruh kebudayaan Keraton Pajang di jawa Tengah bagian selatan Pajang pada paruh kedua abad ke-16

Ada alasan untuk mengakui bahwa selama pemerintahan Raja Adiwijaya dari Pajang, kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah. Menurut cerita tutur, pengetahuan tentang agama Islam telah tersebar di Pengging berkat pengaruh tokoh legenda Syekh Siti Jenar. Jauh di selatan lagi penyebaran agama dilakukan oleh Sunan Tembayat. Sunan Tembayat konon berasal dari Semarang; ia masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Demak. Berabad-abad lamanya makamnya di Tembayat tetap menjadi tempat ziarah bagi kaum Muslimin di Jawa Tengah bagian selatan. Gaya bangunan di sana ada hubungannya dengan gaya permulaan zaman Islam abad ke-16 di Kudus dan Kalinyamat di Jawa Tengah, dan dengan reruntuhan bangunan-bangunan sejenisnya di Jawa Timur. Tahun-tahun yang terpahat pada bangunan memastikan bahwa bangunan-bangunan tersebut didirikan di Tembayat selama pemerintahan Raja Adiwijaya. Cerita tutur Jawa menyatakan bahwa menjelang akhir hidupnya, ia pergi berziarah ke tempat itu untuk memohon bantuan dalam perjuangannya melawan Mataram. Hal itu dapat dianggap memberikan gambaran yang jelas tentang hubungan keagamaan antara Keraton Pajang dan "masyarakat santri" yang telah dibentuk oleh ulama dari Semarang itu.[28]

Di kaki Gunung Merapi, tidak terlalu jauh dari Pengging, terdapat tempat ziarah lain, yang mungkin pada abad ke-16 sudah juga dikunjungi oleh umat Islam. Jatinom di daerah Klaten yang sekarang, yang dahulu termasuk wilayah Pajang, telah terkenal karena perayaan religius tahunan yang dirayakan dengan kue apem yang dilemparkan di atas kepala para pengunjung. Pesta itu disebut Angka Wiyu. Kata tersebut mungkin berasal dari kata seruan suci dalam bahasa Arab kepada Tuhan: Ya Kawiyu ('l-Azizu'l-Hamid,  Yang Kuat, Yang Dahsyat, Yang Terpuji). Pada perayaan tersebut kalimat itu harus berulang kali diucapkan oleh orang-orang alim, seperti litani. Perlu diselidiki apakah upacara Angka Wiyu itu ada hubungannya dengan upacara-upacara ibadat pribumi kuno sebelum zaman Islam.[29]

Yang perlu dikemukakan lagi ialah cerita tutur yang menjelaskan bahwa pada zaman Raja Adiwijaya dari Pajang, pada paruh kedua abad ke-16, Pangeran Karang Gayam menulis sajak moralistik Jawa Niti Sruti.[30] Pangeran Karang Gayam ini dalam cerita tutur sastra Jawa mendapat julukan "Pujangga Pajang". la adik moyang cikal bakal keturunan Karang Lo yang pada paruh kedua abad ke-18 menjadi besan keluarga raja Surakarta.[31] Nenek moyangnya, Ki Gede Karang Lo Taji, dahulu berasal dari daerah di sekitar Taji, tempat berdirinya "pos pabean" di jalan yang telah berabad-abad umurnya, yang merupakan penghubung terpenting antara daerah-daerah Pengging-Pajang dan Mataram.[32] Dari cerita tutur mengenai Niti Srud dan pengarangnya Pangeran Karang Gayam; boleh diambil kesimpulan bahwa pada zaman Kesultanan Pajang kesusastraan Jawa juga dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah bagian selatan.



XIX-7.    Berakhirnya Kesultanan Pajang pada dasawarsa ke-2 akhir abad ke-16

Menurut cerita tutur Mataram yang bersifat sejarah, Sultan Pajang meninggal di taman kerajaannya, sebagai akibat penyakit, kecelakaan atau karena tindakan seorang juru taman, 'tukang kebun', tidak dikenal yang ingin berjasa kepada Senapati Mataram.[33] Meninggalnya raja tua itu harus kita tempatkan pada tahun 1587. la dimakamkan di Butuh, suatu tempat yang tidak jauh di sebelah barat taman Kerajaan Pajang, yang masih lama kemudian tetap dikenal sebagai Makam Aji. Butuh adalah daerah kekuasaan salah seorang dari empat penguasa yang - menurut cerita tutur - berkumpul di Pengging tepat pada malam kelahiran bayi yang kelak akan menjadi sunan Pajang itu, yaitu Jaka Tingkir.[34]

 Yang menjadi ahli waris Sultan Pajang ialah tiga putra menantu; yakni raja di Tuban, raja di Demak, dan raja di Aros Baya, di samping putranya sendiri, Pangeran Benawa, yang konon masih sangat muda waktu ayahnya meninggal. Menurut cerita babad, Sunan Kudus telah menggunakan wibawa kerohaniannya agar yang diakui oleh Keraton Pajang sebagai raja baru itu bukan anak sultan, melainkan raja Demak. Raja Demak itu adalah Aria Pangiri, anak (atau mungkin lebih tepat kemenakan) Susuhunan Prawata yang telah terbunuh, dan cucu Sultan Tranggana yang putrinya telah kawin dengan Sultan Pajang yang baru meninggal itu. Jadi, Aria Pangiri (atau Kediri) dari Demak ini, kecuali menantu, juga kemenakan (dari pihak ibu) Sultan Adiwijaya. Pada tahun 1587 ia sudah agak tua. Mungkin yang menjadi maksud ulama dari Kudus itu ialah mengembalikan kekuasaan di kesultanan Jawa Tengah kepada seorang keturunan langsung Sultan Tranggana dari Demak, yang sudah meninggal kira-kira 40 tahun sebelumnya.

Menurut cerita tutur Mataram, raja kedua di Pajang itu benar tinggal di istana kerajaan, tetapi dikelilingi oleh pejabat-pejabat istana yang dibawa serta dari Demak. Anugerah dan tanah yang kemudian dibagi-bagikan kepada "orang-orang asing" dari Pesisir itu telah membangkitkan rasa tidak puas dan iri hati para bangsawan dan tuan tanah asal pedalaman Pajang sendiri. Pangeran Benawa, putra almarhum sultan pertama, ahli waris pertama, dijadikan raja di Jipang atas anjuran Sunan Kudus. Di sana Aria Panangsang kira-kira 40 tahun sebelumnya dikalahkan oleh ayah Benawa (waktu itu masih belum menjadi Sultan Pajang). Pangeran muda ini, karena merasa tidak puas dengan nasibnya di tengah-tengah lingkungan yang asing baginya, merencanakan persekutuan "jahat" dengan Senapati Mataram dan orang-orang di Pajang yang tidak puas, mengusir raja baru yang asing itu. Usaha ini berhasil, sesudah terjadi pertempuran singkat, pada tahun 1588. Nyawa raja Demak masih dapat ditolong, berkat permintaan belas kasihan istrinya, seorang putri Pajang. la diikat dengan cinde (sabuk) sutera dan dikembalikan ke Demak. Kekalahannya dalam pertempuran melawan Senapati Mataram dan Pangeran Benawa menurut cerita babad disebabkan oleh berbaliknya orang Pajang yang tidak puas ke pihak Mataram. Di samping itu prajurit-prajurit sewaan yang ikut serta dari Demak teinyata tidak dapat dipercaya. Laskar sewaan itu terdiri dari budak belian, orang-orang Bali, Bugis, Makassar, dan golongan "peranakan", yaitu orang-orang Cina yang berdarah campuran. Dari pemberitaan tentang adanya prajurit-prajurit sewaan dalam tentara raja Demak dapat disimpulkan bahwa pada perempat terakhir abad ke-16 di daerah-daerah Pesisir kehidupan ekonomi yang menggunakan uang sebagai bahan tukar sudah lazim, berbeda dengan hubungan-hubungan sosial di daerah pedalaman Pajang dan Mataram.[35]



XIX-8.    Raja-raja Pajang yang terakhir di bawah kekuasaan dinasti Mataram

Menurut Babad Mataram, Pangeran Benawa dari Jipang menyerahkan hak atas warisan ayahnya kepada Senapati Mataram, yang dianggapnya sebagai kakak. Tetapi Senapati menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal di Mataram; ia hanya minta "perhiasan emas intan kerajaan" Pajang. Pangeran Benawa dikukuhkan sebagai raja Pajang di bawah perlindungannya.

Baru setahun berlalu, berakhirlah pemerintahan raja ketiga dari Pajang itu; ia wafat atau - menurut cerita tutur lain - telah meninggalkan Pajang untuk membaktikan diri pada agama di Parakan (di bagian utara daerah Kedu). Pada waktu itu oleh Senapati Mataram kekuasaan atas Pajang telah dipercayakan kepada salah seorang pangeran muda dari Mataram, Gagak Bening. Pangeran itu telah memerintahkan perombakan-perombakan besar dan perluasan istana kerajaan di Pajang. Raja Pajang keempat itu juga tidak lama memerintah. Kira-kira pada tahun 1591, tiga tahun kemudian, ia meninggal.

Sebagai penggantinya, raja Mataram - yang sementara itu telah diakui kekuasaannya oleh banyak raja di Jawa Tengah - telah menunjuk Putra Pangeran Benawa, jadi cucu Almarhum Sultan Adiwijaya sebagai raja bawahan Mataram. Raja kelima itu masih amat muda ketika mulai memerintah. Sesudah Senapati meninggal pada tahun 1601 dan selama pemerintahan penggantinya, Panembahan Seda-ing Krapyak (1601-1613), Pangeran Benawa II itu memerintah Pajang tanpa kesulitan besar.

Tetapi pada tahun 1617-1618 timbul pemberontakan besar di Pajang melawan kekuasaan Sultan Agung. Pemberontakan itu dibantu oleh oknum-oknum yang tidak puas di Mataram. Penindasan pasukan Mataram terhadap gerakan pemberontakan di daerah Pajang yang lebih tua dan lebih makmur itu disertai penghancuran besar-besaran. Kemudian penduduk desa diangkut secara paksa dalam pembangunan kota kerajaan yang baru. Sesudah bencana itu, daerah Pajang selama sebagian besar abad ke-17 tinggal tidak berarti di bidang politik ekonomi, sampai ketika cucu Sultan Agung, Mangkurat II, terpaksa meninggalkan tanah warisannya, Mataram. la memerintahkan membangun istana kerajaan yang baru, Kartasura, di Pajang, tidak jauh dari tempat yang kira-kira seabad sebelumnya menjadi tempat kedudukan kesultanan tua itu.

Pada tahun 1618 raja terakhir dari keluarga raja Pajang, sesudah menderita kekalahan dalam pertempuran melawan Mataram, melarikan diri ke Giri dan Surabaya. Selama masih memegang kekuasaan, keluarga raja Pajang mempunyai hubungan persahabatan dengan keluarga-keluarga raja di Jawa Timur. Pada dasawarsa ketiga abad ke-17, perlawanan terhadap nafsu ekspansi Sultan Agung terpusat di daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa. Yang Dipertuan di Tambak Baya (di wilayah Madiun), sebagai seorang raja bawahan Pajang yang terakhir, ikut melarikan diri ke Surabaya; rupanya di Keraton Surabaya ia masih dapat mencapai kedudukan yang agak berarti.[36]


--------------------------------------------------------------------------------

[1]       Piagam dari tahun 903 M. yang membahas tambangan Bengawan Solo di daerah Wonogiri, telah diterbitkan oleh Dr. Stutterheim (Stutterheim, "Overzetveer").

[2]       Pemberitaan-pemberitaan tentang perjalanan-perjalanan Raja Hayam Wuruk yang terdapat dalam Nagara Kertagama, telah dibicarakan dalam Pigeaud, Java (jil. IV, hlm. 47 dst., dan hlm. 161 dst.).

[3]       Pada Bab II-4, yang membicarakan sejarah penguasa Islam kedua di Demak, diberitakan adanya cerita tutur Banten, yang isinya menyatakan bahwa tanda Islam di Bintara telah membunuh tuannya yang "kafir". Pada cat. 28 dikemukakan suatu penjelasan tentang cerita tutur ini. Pada Bab II-6 telah dibicarakan pemberitaan Tome Pires tentang keturunan Pate Unus dari Japara. Ayah raja yang gagah berani ini kiranya telah menyuruh membunuh penguasa di Jepara. (yang konon "kafir") pada waktu itu, dengan maksud mengambil alih kekuasaan.

[4]       Kisah yang berbelit-belit tentang hal isi dan susunan buku-buku cerita (serat kandha) dan cerita-cerita babad itu tidak diuraikan di sini. Dapatlah diperkirakan bahwa beberapa buku cerita lama, seperti naskah yang isinya telah diungkapkan oleh Brandes dalam bentuk ikhtisar (Brandes, Pararaton, hlm. 216-230), dan Codex LOr, no. 6379 (Pigeaud, Literature, jil.II, hlm. 356-363), berisi cerita-cerita tutur Demak dan Pajang pada abad ke-16.

[5]       Kecuali dalam ikhtisar-ikhtisar dari buku-buku cerita yang telah disebutkan pada catatan sebelum ini, sejarah yang bersifat legenda mengenai Pengging dan Pajang diketahui pula dari karangan Brandes, Register, di bawah judul "Andayaningrat" dan "Adiwijaya" (hlm. 3) dan "Kenanga" (hlm. 19).

[6]       Jaka Bodo muncul dalam cerita-cerita rakyat; lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 195. Bobodo adalah nama daerah.

[7]       Karangan Noorduyn, "Ferry" berisi pemberitaan-pemberitaan sangat menarik yang berasal dari sebuah naskah Sunda, yang belum lama berselang ditemukan dan yang sejak paruh pertama abad ke-17 disimpan dalam Bodleian Library di Oxford, dan sekarang diberi nama "Bujangga Manik" sesuai dengan nama peziarah "kafir"-nya itu. Dalam karangannya Dr. Noorduyn membicarakan berita-berita lama, antara lain dari "Bujangga Manik" tentang lintas tambangan menyeberangi Bengawan Solo di Semanggi dan Solo, di daerah Bobodo.

[8]       Semanggi adalah nama tempat kedudukan raja bajul (raja buaya) ayah Jaka Sangara, yang sering disebutkan dalam ikhtisar Serat Kandha susunan Brandes (Brandes, Pararaton, hlm. 225). Bengawan Semanggi sebagai nama Bengawan Solo di daerah Pajang (Brandes, Register, hlm. 47) terdapat dalam uraian mengenai mengungsinya seorang tokoh raja dari Pajang ke timur (hlm. 233), dan mengenai serbuan-serbuan musuh secara tiba-tiba dari timur di Pajang (hlm. 310) dan di Kartasura (hlm. 625). Dalam Meinsma, Babad (hlm. 655) - masih juga dalam zaman Kartasura - pada paruh pertama abad ke-18, disebutkan desa Semanggi dekat Batu Rana, termasuk daerah Solo. Demang di Batu Rana, atas perintah susuhunan di Kartasura, telah mengusir pemberontak Pangeran Erucakra (yaitu Dipanagara I) dari Semanggi.

[9]       Dalam Serat Kandha (Brandes, Pararaton, hlm. 218-219) disebutkan Raden Juru, adik Patih Udara dari Majapahit. Raden Juru diceritakan beristrikan putri raja taklukan di Probolinggo (ujung timur Jawa), kemudian sesudah ia menjadi duda, kiranya ia bersama anak perempuannya telah memencilkan diri di tempat keramat di Gunung Eduk, untuk membaktikan diri kepada agama. Dalam Pigeaud, Tantu (hlm. 110) Duk ini disebutkan sebagai tempat suci (mungkin), letaknya (mungkin) di ujung timur Jawa. Bagaimana legenda dapat mempertemukan anak perempuan pemimpin rohani dari Duk dengan raja bajul dari Semanggi Jawa Tengah tidaklah jelas. Sebaliknya, dapat diperkirakan bahwa Jaka Sangara, cucu pemimpin dari Duk di ujung timur Jawa itu, adalah seorang yang berdarah keturunan patih Majapahit. la ikut perang di Blambangan dan Bali.

[10]     Kedua cerita tutur tentang dua raja Pengging ini telah diberitakan dalam Brandes, Pararaton, hlm. 229.

[11]     Sejarah kedua bersaudara Kebo Kanigara, ajar "kafir", yang bertapa di pegunungan untuk melakukan latihan-latihan keagamaan, dan Kebo Kenanga, raja terakhir di Pengging, yang telah menjadi pengikut "bid'ah" dalam agama Islam, Pangeran Siti Jenar, telah diberitakan dengan cukup panjang lebar dalam Meinsma, Babad (hlm. 52 dan berikutnya; lihat juga Bab II-14). Kebo Kanigara bahkan bertapa sampai di dalam kawah (Gunung Merapi?) dan ia mati terbakar; tidak ada orang yang tahu di mana makamnya (amartapa dateng salebeting kawah; pejahipun obong, boten kantenan kuburipun). Mungkin legenda tentang kedua ajar bersaudara Arga Dewa dan Arga Dalem dari Gunung Merbabu itu (lihat Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 841, "Suluk Panepen") mempunyai sedikit hubungan pula dengan cerita tutur Pengging ini. Ikatan persaudaraan rohani yang telah diikrarkan bersama oleh keempat murid guru "bid'ah" dalam agama Islam Pangeran Siti Jenar, (tiyang sakawan wau sami manjing dados sadulur, sarta kempel manahipun dados satunggal, awit saking karsanipun Pangeran Siti Jenar), menurut cerita-cerita babad, mengingatkan orang pada kelompok-kelompok Empat Serangkai Suci dalam jemaah-jemaah rohani, yang agaknya telah terdapat dalam kepercayaan rakyat "kafir" di Jawa Timur, yang pasti ialah sejak abad ke-14. Mereka disebutkan dalam Nagara Kertagama (Pigeaud, Java, jil. III, hlm. 91, tembang 78, bait 7, dan jil. IV, hlm. 415 dan hlm. 484 dan berikutnya).  Menurut cerita-cerita babad, Empat Serangkai yang telah menempatkan diri di bawah bimbingan Pangeran Siti Jenar itu, terdiri dari para penguasa di Pengging, Tingkir, Butuh, dan Ngerang, yaitu tempat-tempat yang dalam sejarah Pajang masih berkali-kali lagi disebutkan. Sultan Pajang dimakamkan di Butuh.

Pangeran Siti Jenar disamakan dengan Syekh Lemah Abang. Guru mistik yang menjadi tokoh legenda ini akibat ajaran bid'ahnya yang menghujah Tuhan telah dihukum mati di atas api unggun oleh orang-orang suci dari Masjid Demak (lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 387 dan 291; sebagai catatan: Siti Jenar berarti "Tanah Kuning", dan Lemah Abang artinya: "Tanah Merah"). Hubungan yang dalam cerita-cerita babad telah terjalin antara "ajaran bid'ah" Islam dan Empat Serangkai Suci, yang antara lain beranggotakan Pengging, menimbulkan dugaan bahwa di tanah pedalaman Jawa, terlepas dari pengaruh langsung kota-kota pelabuhan di pantai utara yang penduduknya berdarah campuran, agama Islam telah dapat diterima (mula-mula dalam bentuk mistik "bid'ah") dalam kelompok-kelompok atau jemaah-jemaah, yang kehidupannya dikuasai oleh pemikiran-pemikiran asli kuno tentang kehidupan.

[12]     Kerajaan Pengging mempunyai kedadukan penting dalam kisah-kisah sejarah gadungan berbentuk puisi, Aji Pamasa dan Wita Radya, karya pujangga di Surakarta pada akhir abad ke-19, Ranggawarsita. Karya-karya puisi ini tidak dapat diberi nilai historis. Ikhtisar-ikhtisar kedua kisah itu dalam bahasa Jawa telah dimuat dalam Poerwa dan Wira, Prarelan, jil. II, hlm. 147,19 dst. Ikhtisar-ikhtisar itu terbit pada tahun 1896 dan 1900. Pada waktu itu Pengging ternyata sudah menjadi nama yang termasuk dalam dongeng yang sudah lama silam. Ranggawarsita sendiri, yang termasuk keluarga Yasadipura, telah mengira bahwa keturunannya mempunyai hubungan dengan keturunan Sultan Pajang, dan karenanya mempunyai hubungan juga dengan keturunan raja-raja Pengging.

[13]     Legenda-legenda tentang Syekh Lemah Abang dan orang-orang suci lain telah dibicarakan dalam Rinkes, Heiligen.

[14]     Cerita tentang kelahiran dan masa muda calon yang kelak akan menjadi Sultan Pajang dikisahkan dengan panjang lebar dalam Meinsma, Babad (hlm.55), dan dalam bentuk ikhtisar diuraikan dalam Graaf, Senapati (hlm. 16). Pemberian nama krebet untuk wayang beber, suatu jenis pentas Jawa yang jarang kita jumpai lagi, sebenarnya hanya diketahui dari Babad Tanah Djawi ini. Pertemuan di Pengging, yang kiranya dihadiri oleh para penguasa dari Tingkir, Ngerang, dan Butuh untuk menyaksikan pertunjukan wayang beber, menimbulkan dugaan bahwa pertunjukan itu mempunyai fungsi sebagai upacara suci. Cerita tutur Jawa menganggap wayang pada umumnya sebagai hasil ciptaan orang-orang suci dalam agama Islam. Ini tidak mungkin benar (lihat cat. 68 dan Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 245). Pertunjukan wayang, dan apa pun yang berkaitan dengan pertunjukan itu, berasal dari masa sebelum zaman Islam. Berita mengenai pertunjukan wayang beber, yang diadakan berkenaan dengan dilangsungkannya pertemuan (yang mungkin bersifat) religius antara pengikut Pangeran Siti Jenar, memang merupakan suatu petunjuk bahwa (mungkin) kepercayaan rakyat sebelum zaman Islam di tanah pedalaman Jawa dan pemikiran-pemikiran mistik "bid'ah" (yang hampir-hampir panteistis sifatnya) telah bertemu dalam alam pertunjukan wayang yang sakral itu. Yang aneh dalam Babad Tanah Djawi ini ialah bahwa ayahnya, Ki Gede Pengging, telah menyerahkan anaknya kepada "saudara tuanya" dalam keimanan agama, Yang Dipertuan di Tingkir; oleh penguasa di Tingkir anak tersebut diberi nama Krebet, yang kelak sebagai bujang diberi julukan Jaka Tingkir, sesuai dengan nama ayah angkatnya. Dapat diperkirakan bahwa cerita ini pada abad ke-17 telah dibuat-buat orang, dengan maksud supaya hubungan keluarga antara Jaka Tingkir, pahlawan yang terkenal, yang kelak menjadi Sultan Pajang, dan keluarga raja lama di Pengging dapat diterima. Mungkin Jaka Tingkir itu bukan anak kandung Ki Gede Pengging, dan juga bukan cucu Raja Andayaningrat. Namun cerita tentang bertemunya Empat Serangkai di Pengging, pertunjukan wayang, dan perang lidah dengan Sunan Kudus memang dapat dianggap sebagai suatu ungkapan tentang hubungan-hubungan kemasyarakatan dan keagamaan di tanah pedalaman Jawa Tengah pada paruh pertama abad ke-16, yang pada abad ke-17 belum dilupakan orang.

[15]     Suatu pandangan singkat tentang cerita-cerita ajaib dalam buku-buku cerita (serat kandha) dan cerita-cerita babad mengenai Jaka Tingkir telah dimuat dalam Djajadiningrat, Banten, terutama hlm. 226-228 dan 270-277. Hubungan (keluarga) Jaka Tingkir dan Jaka Sangara dengan kaum buaya membangkitkan ingatan pada legenda tentang raja pemakan manusia, Dewata Cengkar dari Mendang Kamulan, tanah asal segala asal dalam dongeng mitos. Dewata Cengkar telah diusir dari tempat kedudukannya sebagai raja oleh Ajisaka dari negeri asing ("Rum"), dan raja tersebut selanjutnya hidup terus scbagai Buaya Putih di Lautan Selatan. Sesudah Ajisaka berangkat meninggalkan Jawa (kembali ke "Rum"), putra Dewata Cengkar, Daniswara, memerintah kembali sebagai raja di Mendang Kamulan (lihat Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 358). Daniswara mendapat pelajaran dari raja ular (?) yang bijaksana, Sindula, kakeknya (Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah kata "Sindula" dan "Cindula"). Mungkin terdapat sedikit hubungan antara cerita-cerita mitos Jawa Tengah tentang Mendang Kamulan ini dan legenda-legenda Pengging dan Jaka Tingkir. Jarak antara Mendang Kamulan di daerah Grobogan dan Pengging tidak terlalu jauh. Bahwa tempat-tempat lama seperti Tingkir, Tarub, Sesela, dan Mendang Kamulan letaknya berdekatan telah diketengahkan dalam Graaf, Senapati, hlm. 10 dst.

[16]     Sejarah pengambilalihan kekuasaan di Kerajaan Demak oleh raja Pajang yang muda itu sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546, telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati hlm. 24-43 dan pada Bab III-2 buku ini.

[17]     Padmasoesastra, Sadjarah (hlm. 230 dst.) menyebutkan anak-anak Sultan Tranggana dari Demak yang disebut Sultan Sah Ngalam Akbar III. Berdasarkan pemberian gelar Islam kepada raja Demak ini, yang sebenarnya tidak biasa dipakai, dapat diperkirakan bahwa dalam bagian Sadjarah Dalem ini, penggubahnya, Padmasoesastra, atau salah seorang dari pendahulunya, telah mengutip keterangan-keterangan dari daftar keturunan, yang semula telah disusun oleh orang suci Islam, mungkin seorang penulis yang tergolong dalam "Jemaah Suci" di Kadilangu, tempat dimakamkannya Sunan Kalijaga.

[18]     Sejarah Kerajaan Jipang Panolan telah dibicarakan pada Bab IX buku ini.

[19]     Dalam Bab VI buku ini diuraikan sejarah Jepara pada abad ke-16.

[20]     Pemberitaan-pemberitaan bersejarah mengenai Kerajaan Pati Juwana telah dikumpulkan pada Bab IX buku ini.

[21]     Hubungan (yang mungkin kurang baik) antara keturunan para pemimpin rohani di Kudus dan keturunan para pemimpin rohani di Kadilangu (turunan-turunan Sunan Kalijaga, penghulu terkenal di Masjid Suci di Demak) sudah dibicarakan dalam Bab V-2 ketika dibicarakan pendirian Kota Kudus, "kota suci".

[22]     Apabila cerita tutur Jawa mengenai asal usul Sultan Adiwijaya dari Pajang dapat dinilai layak, yaitu bahwa ia berasal dari keturunan para penguasa di Pengging yang mempunyai hubungan famili dengan keluarga raja Majapahit, maka dapatlah diperkirakan bahwa Adiwijaya (pangeran dongeng Jaka Tingkir yang terkenal dari Jawa Tengah sebelah selatan) di mata para penulis Jawa dari abad ke-16 dan ke-17 betul-betul lebih bersifat "Jawa asli" daripada pendahulunya, yaitu raja-raja dari Demak dan Jepara, yang moyangnya - menurut pandangan yang kiranya dapat dianggap benar - berasal dari "turunan Cina", atau setidak-tidaknya orang asing. Menurut cerita tutur Jawa Tengah sebelah selatan, Ki Gede Pamanahan, moyang keluarga raja Mataram, juga dianggap mempunyai asal usul yang "Jawa asli". Hubungan-hubungan akrab Jaka Tingkir dengan kaum buaya, dan juga antara Panembahan Senapati dari Mataram dan Sang Dewi dari Segara Kidul (Laut Selatan), merupakan petunjuk-petunjuk bahwa mereka itu, sebagai pahlawan-pahlawan mitos yang berasal dari turunan penduduk asli, telah berhasil menduduki tempat yang sangat istimewa dalam cerita tutur sejarah yang dikenal luas di Jawa Tengah sebelah selatan. Hat yang serupa tidaklah diceritakan tentang Sultan Demak.

[23]     Sifat yang berlawanan di bidang kemasyarakatan, kebudayaan, dan politik antara daerah-daerah agraris di pedalaman dan kerajaan-kerajaan di kota-kota pelabuhan, yang terlibat dalam perdagangan internasional dan berpenduduk campuran, telah diberitakan dalam Pigeaud, Java, jil. IV (hlm. 502 dan berikutnya), dan dalam Pigeaud, Literature (jil. I, hlm. 158 dst.)

[24]     Cerita tentang percobaan pembunuhan oleh Ki Bocor terhadap raja Mataram, pada waktu raja Pajang masih memerintah, terdapat dalam Meinsma, Babad (hlm. 131 dst.). Dalam cerita ini raja Mataram bernama Senapati. Ayah tokoh historis Senapati, Ki Pamanahan, agaknya memegang kekuasaan sampai tahun 1584. Sekiranya cerita itu mempunyai dasar kebenaran, maka Senapati Mataram yang masih muda itu telah memulai riwayat kerjanya dengan merongrong kekuasaan raja tua dari Pajang, yang kiranya hidup sampai tahun 1588. Sejarah Kerajaan Pasir sudah dibicarakan pada Bab II-14, waktu diadakan pembicaraan tentang sejarah keluarga raja Demak.

[25]     Babad Banyumas telah disebutkan dalam Pigeaud, Literature (jil.11, hlm. 510) dan dalam Graaf, Senapati (hlm. 65, catatan kaki). Wirasaba, yang terletak di daerah aliran Sungai Serayu di daerah Banyumas yang sekarang, harap tidak dicampuradukkan dengan Kerajaan Wirasaba yang penting di Jawa Timur, di daerah hilir Sungai Brantas.

[26]     Pertemuan para raja Jawa Timur di Keraton Giri pada tahun 1581 telah menjadi pokok pembicaraan pada Bab II-5 (Sejarah Sunan Prapen).

[27]     Berita-berita Eropa yang samar-samar dari abad ke-16 tentang Pajang telah dicantumkan dalam Graaf, Senapati (hlm. 67 dst.).

[28]     Cerita-cerita tutur Jawa tentang Tembayat telah disebutkan pada Bab II-14. Ziarah Sultan Pajang yang tidak berhasil, dikisahkan dalam Meinsma, Babad (hlm. 161).

[29]     Pesta Angka Wiyu di Jatinom disebutkan dalam Codex LOr, no. 8652d, no. 16 (Pigeaud, Literature jil. 11, hlm. 495).

[30]     Niti Sruti karangan Pangeran Gayam telah diberitakan dalam Pigeaud, Literature, (jil.1, hlm. 106); dan Vreede, Catalogus (hlm. 271 dst.).

[31]     Pangeran Gayam, pujangga ing Pajang, disebutkan dalam Padmasoesastra, Sadjarah (hlm. 210), pada daftar keturunan para Yang Dipertuan di Karang Lo. Keturunan ini kiranya berasal dari panembahan dari Jagaraga (tanah di daerah Madiun sekarang). Asal usul panembahan ini dari Sunan Ngampel Denta di Surabaya kiranya hanya bersifat legenda.

[32]     "Pusat Pabean" Taji di batas timur tanah Mataram berkali-kali disebut dalam Babad Tanah Djawi (Lihat Brandes, Register, hlm. 33). Yang pantas disebutkan ialah bahwa Taji juga terdapat pada laporan abad ke-15, yang dimuat oleh musafir Sunda "kafir" Bujangga Manik, tentang perjalanannya menjelajahi tanah pedalaman Jawa, yang telah dibicarakan oleh Noorduyn, "Ferry" (hlm. 471), dan Noorduyn, "Bujangga Manik". Lihat juga Bab XX-2.

[33]     Akhir hidup Sultan Pajang telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 87 dst.) Di situ terdapat juga tinjauan mengenai pertanyaan siapa atau apa kiranya juru taman itu, kalau itu sekiranya bukan penampakan roh, yang memakai nama tersebut.

[34]     Menurut Babad Tanah Djawi kira-kira 30 tahun sesudah Sultan Pajang, pada tahun 1615, di Butuh juga dimakamkan raja dari Japan (dekat daerah Mojokerto sekarang, di Jawa Timur), yang telah gugur dalam pertempuran dekat Siwalan melawan laskar Sultan Agung dari Mataram (lihat Graaf, Sultan Agung, hlm. 37). Keluarga raja Pajang telah mendapat nama baik di kalangan raja-raja Jawa Timur. Pada tahun 1628, sesudah tanah warisannya diduduki, pangeran merdeka terakhir dari Surabaya, Pangeran Pekik, terpaksa pergi ke Mataram untuk menyatakan takluknya kepada Sultan Agung, dan agaknya ia lebih dulu telah memberi hormat kepada makam Sultan Pajang di Butuh (lihat Graaf, Sultan Agung, hlm. 209).

[35]     Pemerintahan raja Pajang kedua yang agak pendek itu dan jatuhnya kerajaannya telah dibicarakan secara panjang lebar dalam Graaf, Senapati (hlm. 91-95). Di situ pun telah diberikan perhatian terhadap pemberitaan-pemberitaan penting yang dimuat dalam cerita babad mengenai hubungan-hubungan kemasyarakatan di Jawa Tengah pada paruh kedua abad ke-16. Lihat juga Bab III-3.

[36]     Dalam Graaf, Senapati (hlm. 99-101) dan Graaf, Sultan Agung (hlm. 43-48), sejarah tanah Pajang di bawah kekuasaan tertinggi raja-raja pertama dari Mataram telah dibicarakan, sampai pemberontakan besar pada tahun 1617-1618, waktu kemerdekaan keluarga raja Pajang diakhiri dengan kekerasan senjata.

Tidak ada komentar: