Sudah bertahun-tahun kegiatan ronda malam di lingkungan tempat
tinggalku berjalan dengan baik. Setiap malam ada satu grup terdiri dari
tiga orang. Sebagai anak muda yang sudah bekerja aku dapat giliran ronda
pada malam minggu.
Pada suatu malam minggu aku giliran ronda. Tetapi sampai pukul 23.00
dua orang temanku tidak muncul di pos perondaan. Aku tidak peduli mau
datang apa tidak, karena aku maklum tugas ronda adalah sukarela,
sehingga tidak baik untuk dipaksa-paksa. Biarlah aku ronda sendiri tidak
ada masalah.
Karena memang belum mengantuk, aku jalan-jalan mengontrol kampung.
Biasanya kami mengelilingi rumah-rumah penduduk. Pada waktu sampai di
samping rumah Pak Tadi, aku melihat kaca nako yang belum tertutup. Aku
mendekati untuk melihat apakah kaca nako itu kelupaan ditutup atau ada
orang jahat yang membukanya. Dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata
kain korden tertutup rapi. Kupikir kemarin sore pasti lupa menutup kaca
nako, tetapi langsung menutup kain kordennya saja. Mendadak aku
mendengar suara aneh, seperti desahan seseorang. Kupasang telinga
baik-baik, ternyata suara itu datang dari dalam kamar. Kudekati
pelan-pelan, dan darahku berdesir, ketika ternyata itu suara orang
bersetubuh. Nampaknya ini kamar tidur Pak Tadi dan istrinya. Aku lebih
mendekat lagi, suaranya dengusan nafas yang memburu dan gemerisik dan
goyangan tempat tidur lebih jelas terdengar. “Ssshh… hhemm… uughh…
ugghh, terdengar suara dengusan dan suara orang seperti menahan sesuatu.
Jelas itu suara Bu Tadi yang ditindih suaminya. Terdengar pula bunyi
kecepak-kecepok, nampaknya penis Pak Tadi sedang mengocok liang vagina
Bu Tadi. Aduuh, darahku naik ke kepala, penisku sudah berdiri keras
seperti kayu. Aku betul-betul iri membayangkan Pak Tadi menggumuli
istrinya. Alangkah nikmatnya menyetubuhi Bu Tadi yang cantik dan bahenol
itu.
“Oohh, sshh buuu, aku mau keluar, sshh…. ssshh..” terdengar suara Pak
Tadi tersengal-sengal. Suara kecepak-kecepok makin cepat, dan kemudian
berhenti. Nampaknya Pak Tadi sudah ejakulasi dan pasti penisnya
dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi. Selesailah sudah
persetubuhan itu, aku pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala
berdenyut-denyut dan penis yang kemeng karena tegang dari tadi.
Sejak malam itu, aku jadi sering mengendap-endap mengintip kegiatan
suami-istri itu di tempat tidurnya. Walaupun nako tidak terbuka lagi,
namun suaranya masih jelas terdengar dari sela-sela kaca nako yang tidak
rapat benar. Aku jadi seperti detektip partikelir yang mengamati
kegiatan mereka di sore hari. Biasanya pukul 21.00 mereka masih melihat
siaran TV, dan sesudah itu mereka mematikan lampu dan masuk ke kamar
tidurnya. Aku mulai melihat situasi apakah aman untuk mengintip mereka.
Apabila aman, aku akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka
hanya bercakap-cakap sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali
memasang selimut), lalu sepi. Pasti mereka terus tidur. Tetapi apabila
mereka masuk kamar, bercakap-cakap, terdengar ketawa-ketawa kecil
mereka, jeritan lirih Bu Tadi yang kegelian (barangkali dia digelitik,
dicubit atau diremas buah dadanya oleh Pak Tadi), dapat dipastikan akan
diteruskan dengan persetubuhan. Dan aku pasti mendengarkan sampai
selesai. Rasanya seperti kecanduan dengan suara-suara Pak Tadi dan
khususnya suara Bu Tadi yang keenakan disetubuhi suaminya.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Apabila aku bertemu Bu
Tadi juga biasa-biasa saja, namun tidak dapat dipungkiri, aku jadi jatuh
cinta sama istri Pak Tadi itu. Orangnya memang cantik, dan badannya
padat berisi sesuai dengan seleraku. Khususnya pantat dan buah dadanya
yang besar dan bagus. Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin,
karena Bu tadi istri orang. Kalau aku berani menggoda Bu Tadi pasti jadi
masalah besar di kampungku. Bisa-bisa aku dipukuli atau diusir dari
kampungku. Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata aku akhirnya
dapat menikmati keindahan tubuh Bu Tadi.
Pada suatu hari aku mendengar Pak Tadi opname di rumah sakit, katanya
operasi usus buntu. Sebagai tetangga dan masih bujangan aku banyak
waktu untuk menengoknya di rumah sakit. Dan yang penting aku mencoba
membangun hubungan yang lebih akrab dengan Bu Tadi. Pada suatu sore, aku
menengok di rumah sakit bersamaan dengan adiknya Pak Tadi. Sore itu,
mereka sepakat Bu Tadi akan digantikan adiknya menunggu di rumah sakit,
karena Bu Tadi sudah beberapa hari tidak pulang. Aku menawarkan diri
untuk pulang bersamaku. Mereka setuju saja dan malah berterima kasih.
Terus terang kami sudah menjalin hubungan lebih akrab dengan keluarga
itu.
Sehabis mahgrib aku bersama Bu Tadi pulang. Dalam mobilku kami mulai
mengobrol, mengenai sakitnya Pak Tadi. Katanya seminggu lagi sudah boleh
pulang. Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau
katakanlah lebih kurang ajar. Inikan kesempatan bagus sekali untuk
mendekatai Bu Tadi.
“Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Tadi sudah berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan yaa”, kataku hati-hati.
“Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni. Barangkali Tuhan belum mengizinkan”, jawab Bu Tadi.
“Tapi anu tho bu… anuu.. bikinnya khan jalan terus.” godaku.
“Ooh apa, ooh. kalau itu sih iiiya Dik Budi” jawab Bu Tadi agak kikuk. Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minmal 2 kali bersetubuh dan terbayang kembali desahan Bu Tadi yang keenakan. Darahku semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.
“Tapi, kok belum berhasil juga yaa bu?” lanjutku.
“Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi kimpoi. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti keburu tua lhoo”, kata Bu Tadi.
“Eeh, benar nih Bu Tadi. Aku cakep niih. Ah kebetulan, tolong carikan aku Bu. Tolong carikan yang kayak Ibu Tadi ini lhoo”, kataku menggodanya.
“Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi”, katanya sambil ketawa.
Aku harus dapat memanfaatkan situasi. Harus, Bu tadi harus aku dapatkan.
“Eeh, Bu Tadi. Kita kan nggak usah buru-buru nih. Di rumah Bu Tadi juga kosong. Kita cari makan dulu yaa. Mauu yaa bu, mau yaa”, ajakku dengan penuh kekhawatiran jangan-jangan dia menolak.
“Tapi nanti kemaleman lo Dik”, jawabnya.
“Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu”, aku sedikit memaksa.
“Yaa gimana yaa… ya deh terserah Dik Budi. Tapi nggak malam-malam lho.” Bu Tadi setuju. Batinku bersorak.
“Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Tadi sudah berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan yaa”, kataku hati-hati.
“Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni. Barangkali Tuhan belum mengizinkan”, jawab Bu Tadi.
“Tapi anu tho bu… anuu.. bikinnya khan jalan terus.” godaku.
“Ooh apa, ooh. kalau itu sih iiiya Dik Budi” jawab Bu Tadi agak kikuk. Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minmal 2 kali bersetubuh dan terbayang kembali desahan Bu Tadi yang keenakan. Darahku semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.
“Tapi, kok belum berhasil juga yaa bu?” lanjutku.
“Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi kimpoi. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti keburu tua lhoo”, kata Bu Tadi.
“Eeh, benar nih Bu Tadi. Aku cakep niih. Ah kebetulan, tolong carikan aku Bu. Tolong carikan yang kayak Ibu Tadi ini lhoo”, kataku menggodanya.
“Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi”, katanya sambil ketawa.
Aku harus dapat memanfaatkan situasi. Harus, Bu tadi harus aku dapatkan.
“Eeh, Bu Tadi. Kita kan nggak usah buru-buru nih. Di rumah Bu Tadi juga kosong. Kita cari makan dulu yaa. Mauu yaa bu, mau yaa”, ajakku dengan penuh kekhawatiran jangan-jangan dia menolak.
“Tapi nanti kemaleman lo Dik”, jawabnya.
“Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu”, aku sedikit memaksa.
“Yaa gimana yaa… ya deh terserah Dik Budi. Tapi nggak malam-malam lho.” Bu Tadi setuju. Batinku bersorak.
Kami berehenti di warung bakmi yang terkenal. Sambil makan kami terus mengobrol. Jeratku semakin aku persempit.
“Eeh, aku benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak Bu Tadi dong Bu. benar nih. Soalnya begini bu, tapii eeh nanti Bu Tadi marah sama saya. Nggak usaah aku katakan saja deh”, kubuat Bu Tadi penasaran.
“Emangnya kenapa siih.” Bu tadi memandangku penuh tanda tanya.
“Tapi janji nggak marah lho.” kataku memancing. Dia mengangguk kecil.
“Anu bu… tapi janji tidak marah lho yaa.”
“Bu Tadi terus terang aku terobsesi punya istri seperti Bu tadi. Aku benar-benar bingung dan seperti orang gila kalau memikirkan Bu Tadi. Aku menyadari ini nggak betul. Bu Tadi kan istri tetanggaku yang harus aku hormati. Aduuh, maaf, maaf sekali bu. aku sudah kurang ajar sekali”, kataku menghiba. Bu Tadi melongo, memandangiku. sendoknya tidak terasa jatuh di piring. Bunyinya mengagetkan dia, dia tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.
“Eeh, aku benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak Bu Tadi dong Bu. benar nih. Soalnya begini bu, tapii eeh nanti Bu Tadi marah sama saya. Nggak usaah aku katakan saja deh”, kubuat Bu Tadi penasaran.
“Emangnya kenapa siih.” Bu tadi memandangku penuh tanda tanya.
“Tapi janji nggak marah lho.” kataku memancing. Dia mengangguk kecil.
“Anu bu… tapi janji tidak marah lho yaa.”
“Bu Tadi terus terang aku terobsesi punya istri seperti Bu tadi. Aku benar-benar bingung dan seperti orang gila kalau memikirkan Bu Tadi. Aku menyadari ini nggak betul. Bu Tadi kan istri tetanggaku yang harus aku hormati. Aduuh, maaf, maaf sekali bu. aku sudah kurang ajar sekali”, kataku menghiba. Bu Tadi melongo, memandangiku. sendoknya tidak terasa jatuh di piring. Bunyinya mengagetkan dia, dia tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.
Sampai selesai kami jadi berdiam-diaman. Kami berangkat pulang. Dalam
mobil aku berpikir, ini sudah telanjur basah. Katanya laki-laki harus
nekad untuk menaklukkan wanita. Nekad kupegang tangannya dengan tangan
kiriku, sementara tangan kananku memegang setir. Di luar dugaanku, Bu
Tadi balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh
kemenangan. Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami telah
bertaut. Pikiranku melambung, melayang-layang. Mendadak ada sepeda motor
menyalib mobilku. Aku kaget.
“Awaas! hati-hati!” Bu Tadi menjerit kaget.
“Aduh nyalib kok nekad amat siih”, gerutuku.
“Makanya kalau nyetir jangan macam-macam”, kata Bu tadi. Kami tertawa. Kami tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah. Sampai di rumah aku hanya sampai pintu masuk, aku lalu pamit pulang.
“Awaas! hati-hati!” Bu Tadi menjerit kaget.
“Aduh nyalib kok nekad amat siih”, gerutuku.
“Makanya kalau nyetir jangan macam-macam”, kata Bu tadi. Kami tertawa. Kami tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah. Sampai di rumah aku hanya sampai pintu masuk, aku lalu pamit pulang.
Di rumah aku mencoba untuk tidur. Tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak
nyaman juga. Aku terus membayangkan Bu Tadi yang sekarang sendirian,
hanya ditemani pembantunya yang tua di kamar belakang. Ada dorongan
sangat kuat untuk mendatangi rumah Bu Tadi. Berani nggaak, berani nggak.
Mengapa nggak berani. Entah setan mana yang mendorongku, tahu-tahu aku
sudah keluar rumah. Aku mendatangi kamar Bu Tadi. Dengan berdebar-debar,
aku ketok pelan-pelan kaca nakonya, “Buu Tadi, aku Budi”, kataku lirih.
Terdengar gemerisik tempat tidur, lalu sepi. Mungkin Bu Tadi bangun dan
takut. Bisa juga mengira aku maling. “Aku Budi”, kataku lirih.
Terdengar gemerisik. Kain korden terbuka sedikit. Nako terbuka sedikit.
“Lewat belakang!” kata Bu Tadi. Aku menuju ke belakang ke pintu dapur.
Pintu terbuka, aku masuk, pintu tertutup kembali. Aku nggak tahan lagi,
Bu Tadi aku peluk erat-erat, kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya dengan
lembut dan mesra, penuh kerinduan. Bu Tadi membalas memelukku, wajahnya
disusupkan ke dadaku.
“Aku nggak bisa tidur”, bisikku.
“Aku juga”, katanya sambil memelukku erat-erat.
Dia melepaskan pelukannya. Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Kami berpelukan lagi, berciuman lagi dengan lebih bernafsu. “Buu, aku kangen bangeeet. Aku kangen”, bisikku sambil terus menciumi dan membelai punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora. Aku ditariknya ke tempat tidur. Bu Tadi membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke buah dadanya yang besar dan empuk, aduuh nikmat sekali, kuelus buah dadanya dengan lembut, kuremas pelan-pelan. Bu Tadi menyingkapkan dasternya ke atas, dia tidak memakai BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung. Aku nggak tahan lagi, kuciumi, kukulum pentilnya, kubenamkan wajahku di kedua buah dadanya, sampai aku nggak bisa bernapas. Sementara tanganku merogoh kemaluannya yang berbulu tebal. Celana dalamnya kupelorotkan, dan Bu Tadi meneruskan ke bawah sampai terlepas dari kakinya. Dengan sigap aku melepaskan sarung dan celana dalamku. Penisku langsung tegang tegak menantang. Bu Tadi segera menggenggamnya dan dikocok-kocok pelan dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh, rasanya geli dan nikmat sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu Tadi, bertelekan pada sikut dan dengkulku.
“Aku juga”, katanya sambil memelukku erat-erat.
Dia melepaskan pelukannya. Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Kami berpelukan lagi, berciuman lagi dengan lebih bernafsu. “Buu, aku kangen bangeeet. Aku kangen”, bisikku sambil terus menciumi dan membelai punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora. Aku ditariknya ke tempat tidur. Bu Tadi membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke buah dadanya yang besar dan empuk, aduuh nikmat sekali, kuelus buah dadanya dengan lembut, kuremas pelan-pelan. Bu Tadi menyingkapkan dasternya ke atas, dia tidak memakai BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung. Aku nggak tahan lagi, kuciumi, kukulum pentilnya, kubenamkan wajahku di kedua buah dadanya, sampai aku nggak bisa bernapas. Sementara tanganku merogoh kemaluannya yang berbulu tebal. Celana dalamnya kupelorotkan, dan Bu Tadi meneruskan ke bawah sampai terlepas dari kakinya. Dengan sigap aku melepaskan sarung dan celana dalamku. Penisku langsung tegang tegak menantang. Bu Tadi segera menggenggamnya dan dikocok-kocok pelan dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh, rasanya geli dan nikmat sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu Tadi, bertelekan pada sikut dan dengkulku.
Kaki Bu Tadi dikangkangkannya lebar-lebar, penisku dibimbingnya masuk
ke liang vaginanya yang sudah basah. Digesek-gesekannya di bibir
kemaluannya, makin lama semakin basah, kepala penisku masuk, semakin
dalam, semakin… dan akhirnya blees, masuk semuanya ke dalam kemaluan Bu
Tadi. Aku turun-naik pelan-pelan dengan teratur. Aduuh, nikmat sekali.
Penisku dijepit kemaluan Bu Tadi yang sempit dan licin. Makin cepat
kucoblos, keluar-masuk, turun-naik dengan penuh nafsu. “Aduuh, Dik Budi,
Dik Budii… enaak sekali, yang cepaat.. teruus”, bisik Bu Tadi sambil
mendesis-desis. Kupercepat lagi. Suaranya vagina Bu Tadi
kecepak-kecepok, menambah semangatku. “Dik Budiii aku mau muncaak…
muncaak, teruus… teruus”, Aku juga sudah mau keluar. Aku percepat, dan
penisku merasa akan keluar. Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu
Tadi sampai amblaas. Pangkal penisku berdenyut-denyut, spermaku
muncrat-muncrat di dalam vagina Bu Tadi. Kami berangkulan kuat-kuat,
napas kami berhenti. Saking nikmatnya dalam beberapa detik nyawaku
melayang entah kemana. Selesailah sudah. Kerinduanku tercurah sudah, aku
merasa lemas sekali tetapi puas sekali.
Kucabut penisku, dan berbaring di sisinya. Kami berpelukan, mengatur
napas kami. Tiada kata-kata yang terucapkan, ciuman dan belaian kami
yang berbicara.
“Dik Budi, aku curiga, salah satu dari kami mandul. Kalau aku subur, aku harap aku bisa hamil dari spermamu. Nanti kalau jadi aku kasih tahu. Yang tahu bapaknya anakku kan hanya aku sendiri kan. Dengan siapa aku membuat anak”, katanya sambil mencubitku. Malam itu pertama kali aku menyetubuhi Bu Tadi tetanggaku. Beberapa kali kami berhubungan sampai aku kimpoi dengan wanita lain. Bu Tadi walaupun cemburu tapi dapat memakluminya.
“Dik Budi, aku curiga, salah satu dari kami mandul. Kalau aku subur, aku harap aku bisa hamil dari spermamu. Nanti kalau jadi aku kasih tahu. Yang tahu bapaknya anakku kan hanya aku sendiri kan. Dengan siapa aku membuat anak”, katanya sambil mencubitku. Malam itu pertama kali aku menyetubuhi Bu Tadi tetanggaku. Beberapa kali kami berhubungan sampai aku kimpoi dengan wanita lain. Bu Tadi walaupun cemburu tapi dapat memakluminya.
Keluarga Pak tadi sampai saat ini hanya mempunyai satu anak perempuan
yang cantik. Apabila di kedepankan, Bu Tadi sering menciumi anak itu,
sementara matanya melirikku dan tersenyum-senyum manis. Tetanggaku pada
meledek Bu Tadi, mungkin waktu hamil Bu Tadi benci sekali sama aku.
Karena anaknya yang cantik itu mempunyai mata, pipi, hidung, dan bibir
yang persis seperti mata, pipi, hidung, dan bibirku.
Seperti telah anda ketahui hubunganku dengan Bu Tadi istri tetanggaku
yang cantik itu tetap berlanjut sampai kini, walaupun aku telah berumah
tangga. Namun dalam perkimpoianku yang sudah berjalan dua tahun lebih,
kami belum dikaruniai anak. Istriku tidak hamil-hamil juga walaupun
penisku kutojoskan ke vagina istriku siang malam dengan penuh semangat.
Kebetulan istriku juga mempunyai nafsu seks yang besar. Baru disentuh
saja nafsunya sudah naik. Biasanya dia lalu melorotkan celana dalamnya,
menyingkap pakaian serta mengangkangkan pahanya agar vaginanya yang
tebal bulunya itu segera digarap. Di mana saja, di kursi tamu, di dapur,
di kamar mandi, apalagi di tempat tidur, kalau sudah nafsu, ya aku
masukkan saja penisku ke vaginanya. Istriku juga dengan penuh gairah
menerima coblosanku. Aku sendiri terus terang setiap saat melihat
istriku selalu nafsu saja deh. Memang istriku benar-benar membuat
hidupku penuh semangat dan gairah.
Tetapi karena istriku tidak hamil-hamil juga aku jadi agak kawatir.
Kalau mandul, jelas aku tidak. Karena sudah terbukti Bu Tadi hamil, dan
anakku yang cantik itu sekarang menjadi anak kesayangan keluarga Pak
Tadi. Apakah istriku yang mandul? Kalau melihat fisik serta haidnya yang
teratur, aku yakin istriku subur juga. Apakah aku kena hukuman karena
aku selingkuh dengan Bu Tadi? aah, mosok. Nggak mungkin itu. Apakah
karena dosa? Waah, mestinya ya memang dosa besar. Tapi karena
menyetubuhi Bu Tadi itu enak dan nikmat, apalagi dia juga senang, maka
hubungan gelap itu perlu diteruskan, dipelihara, dan dilestarikan.
Untuk mengatur perselingkuhanku dengan Bu Tadi, kami sepakat dengan
membuat kode khusus yang hanya diketahui kami berdua. Apabila Pak Tadi
tidak ada di rumah dan benar-benar aman, Bu Tadi memadamkan lampu di
sumur belakang rumahnya. Biasanya lampu 5 watt itu menyala sepanjang
malam, namun kalau pada pukul 20.00 lampu itu padam, berarti keadaan
aman dan aku dapat mengunjungi Bu Tadi. (Anda dapat meniru caraku yang
sederhana ini. Gratis tanpa bayar pulsa telepon yang makin mahal).
Karena dari samping rumahku dapat terlihat belakang rumah Bu Tadi,
dengan mudah aku dapat menangkap tanda tersebut. Tetapi pernah tanda itu
tidak ada sampai 1 atau 2 bulan, bahkan 3 bulan. Aku kadang-kadang jadi
agak jengkel dan frustasi (karena kangen) dan aku mengira juga Bu Tadi
sudah bosan denganku. Tetapi ternyata memang kesempatan itu benar-benar
tidak ada, sehingga tidak aman untuk bertemu.
Pada suatu hari aku berpapasan dengan Bu Tadi di jalan dan seperti
biasanya kami saling menyapa baik-baik. Sebelum melanjutkan
perjalanannya, dia berkata, “Dik Budi, besok malam minggu ada keperluan
nggak?”
“Kayaknya sih nggak ada acara kemana-mana. Emangnya ada apa?” jawabku dengan penuh harapan karena sudah hampir satu bulan kami tidak bermesraan.
“Nanti ke rumah yaa!” katanya dengan tersenyum malu-malu.
“Emangnya Pak Tadi nggak ada?” kataku. Dia tidak menjawab, cuma tersenyum manis dan pergi meneruskan perjalanannya. Walaupun sudah biasa, darahku pun berdesir juga membayangkan pertemuanku malam minggu nanti.
“Kayaknya sih nggak ada acara kemana-mana. Emangnya ada apa?” jawabku dengan penuh harapan karena sudah hampir satu bulan kami tidak bermesraan.
“Nanti ke rumah yaa!” katanya dengan tersenyum malu-malu.
“Emangnya Pak Tadi nggak ada?” kataku. Dia tidak menjawab, cuma tersenyum manis dan pergi meneruskan perjalanannya. Walaupun sudah biasa, darahku pun berdesir juga membayangkan pertemuanku malam minggu nanti.
Seperti biasa malam minggu adalah giliran ronda malamku. Istriku
sudah tahu itu, sehingga tidak menaruh curiga atau bertanya apa-apa
kalau pergi keluar malam itu. Aku sudah bersiap untuk menemui Bu Tadi.
Aku hanya memakai sarung, (tidak memakai celana dalam) dan kaos lengan
panjang biar agak hangat. Dan memang kalau tidur aku tidak pernah pakai
celana dalam tetapi hanya memakai sarung saja. Rasanya lebih rileks dan
tidak sumpek, serta penisnya biar mendapat udara yang cukup setelah
seharian dipepes dalam celana dalam yang ketat.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Lampu belakang rumah Bu Tadi sudah
padam dari tadi. Aku berjalan memutar dulu untuk melihat situasi apakah
sudah benar-benar sepi dan aman. Setelah yakin aman, aku menuju ke
samping rumah Bu Tadi. Aku ketok kaca nako kamarnya. Tanpa menunggu
jawaban, aku langsung menuju ke pintu belakang. Tidak berapa lama
terdengar kunci dibuka. Pelan pintu terbuka dan aku masuk ke dalam.
Pintu ditutup kembali. Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Tadi masuk
ke kamar tidurnya. Setelah pintu ditutup kembali, kami langsung
berpelukan dan berciuman untuk menyalurkan kerinduan kami. Kami sangat
menikmati kemesraan itu, karena memang sudah hampir satu bulan kami
tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Setelah itu, Bu Tadi
mendorongku, tangannya di pinggangku, dan tanganku berada di pundaknya.
Kami berpandangan mesra, Bu tadi tersenyum manis dan memelukku kembali
erat-erat. Kepalanya disandarkan di dadaku.
“Paa, sudah lama kita nggak begini”, katanya lirih. Bu Tadi sekarang
kalau sedang bermesraan atau bersetubuh memanggilku Papa. Demikian juga
aku selalu membisikkan dan menyebutnya Mama kepadanya. Nampaknya Bu Tadi
menghayati betul bahwa Nia, anaknya yang cantik itu bikinan kami
berdua.
“Pak Tadi sedang kemana sih maa”, tanyaku.
“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya baru besok sore”, katanya sambil terus mendekapku.
“Maa, aku mau ngomong nih”, kataku sambil duduk bersanding di tempat tidur. Bu Tadi diam saja dan memandangku penuh tanda tanya.
“Maa, sudah dua tahun lebih aku berumah tangga, tetapi istriku belum hamil-hamil juga. Kamu tahu, mustinya secara fisik, kami tidak ada masalah. Aku jelas bisa bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal bikinnya tidak pernah berhenti, siang malam”, kataku agak melucu. Bu Tadi memandangku.
“Pa, aku harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau aku hamil lagi, aku yakin suamiku tidak akan mengijinkan adiknya Nia kamu minta menjadi anak angkatmu. Toh anak kami kan baru dua orang nantinya, dan pasti suamiku akan sayang sekali. Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia. Cuma bikin doang, giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus”, katanya sambil merenggut manja. Aku tersenyum kecut.
“Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa”, kataku.
“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil”, katanya menghiburku.
“Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa…”
“Enak saja. Didoain? Mustinya aku kan nggak rela Papa menyetubuhi Rina istrimu itu. Mustinya Papa kan punyaku sendiri, aku monopoli. Nggak boleh punya Papa masuk ke perempuan lain kan. Kok malah minta didoain. Gimana siih”, katanya manja dan sambil memelukku erat-erat. Benar juga, mestinya kami ini jadi suami-istri, dan Nia itu anak kami.
“Maa, kalau kita ngomong-ngomong seperti ini, jadinya nafsunya malah jadi menurun lho. Jangan-jangan nggak jadi main nih”, kataku menggoda.
“Iiih, dasar”, katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.
“Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!” katanya manja.
“Pak Tadi sedang kemana sih maa”, tanyaku.
“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya baru besok sore”, katanya sambil terus mendekapku.
“Maa, aku mau ngomong nih”, kataku sambil duduk bersanding di tempat tidur. Bu Tadi diam saja dan memandangku penuh tanda tanya.
“Maa, sudah dua tahun lebih aku berumah tangga, tetapi istriku belum hamil-hamil juga. Kamu tahu, mustinya secara fisik, kami tidak ada masalah. Aku jelas bisa bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal bikinnya tidak pernah berhenti, siang malam”, kataku agak melucu. Bu Tadi memandangku.
“Pa, aku harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau aku hamil lagi, aku yakin suamiku tidak akan mengijinkan adiknya Nia kamu minta menjadi anak angkatmu. Toh anak kami kan baru dua orang nantinya, dan pasti suamiku akan sayang sekali. Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia. Cuma bikin doang, giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus”, katanya sambil merenggut manja. Aku tersenyum kecut.
“Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa”, kataku.
“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil”, katanya menghiburku.
“Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa…”
“Enak saja. Didoain? Mustinya aku kan nggak rela Papa menyetubuhi Rina istrimu itu. Mustinya Papa kan punyaku sendiri, aku monopoli. Nggak boleh punya Papa masuk ke perempuan lain kan. Kok malah minta didoain. Gimana siih”, katanya manja dan sambil memelukku erat-erat. Benar juga, mestinya kami ini jadi suami-istri, dan Nia itu anak kami.
“Maa, kalau kita ngomong-ngomong seperti ini, jadinya nafsunya malah jadi menurun lho. Jangan-jangan nggak jadi main nih”, kataku menggoda.
“Iiih, dasar”, katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.
“Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!” katanya manja.
Kami berpelukan dan berciuman lagi. Tentu saja kami tidak puas hanya
berciuman dan berpelukan saja. Kutidurkan dia di tempat tidur,
kutelentangkan. Bu Tadi mandah saja. Pasrah saja mau diapain. Dia
memakai daster dengan kancing yang berderet dari atas ke bawah. Kubuka
kancing dasternya satu per satu mulai dari dada terus ke bawah.
Kusibakkan ke kanan dan ke kiri bajunya yang sudah lepas kancingnya itu.
Menyembullah buah dadanya yang putih menggunung (dia sudah tidak pakai
BH). Celana dalam warna putih yang menutupi vaginanya yang nyempluk itu
aku pelorotkan. Aku benar-benar menikmati keindahan tubuh istri gelapku
ini. Saat satu kakinya ditekuk untuk melepaskan celana dalamnya, gerakan
kakinya yang indah, vaginanya yang agak terbuka, aduh pemandangan itu
sungguh indah. Benar-benar membuatku menelan ludah. Wajah yang ayu, buah
dada yang putih menggunung, perut yang langsing, vagina yang nyempluk
dan agak terbuka, kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona.
Aku tidak tahan lagi. Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana.
Aku segera naik di atas tubuh Bu Tadi. Kugumuli dia dengan penuh nafsu.
Aku tidak peduli Bu Tadi megap-megap keberatan aku tindih sepenuhnya.
Habis gemes banget, nafsu banget sih.
“Uugh jangan nekad tho. Berat nih”, keluh Bu Tadi.
Aku bertelekan pada telapak tanganku dan dengkulku. Penisku yang sudah tegang banget aku paskan ke vaginanya. Terampil tangan Bu Tadi memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah. Tidak ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam vaginanya. Dengan penuh semangat kukocok vagina Bu Tadi dengan penisku. Bu Tadi semakin naik, menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih. Semakin lama semakin cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.
“Teruuus, teruus paa.. sshh… ssh…” bisik Bu Tadi
“Maa, aku juga sudah mau… keluaarr”,
“Yang dalam paa… yang dalamm. Keluarin di dalaam Paa… Paa… Adduuh Paa nikmat banget Paa…, ouuch..”, jeritnya lirih yang merangkulku kuat-kuat. Kutekan dalam-dalam penisku ke vaginanyanya. Croot, cruuut, crruut, keluarlah spermaku di dalam rahim istri gelapku ini. Napasku seperti terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu Tadi menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik dia aku tindih dan dia merangkul kuat-kuat. Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku. Penisku masih di dalam, aku gerakkan pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali sampai tulang sumsum. Vaginanya licin sekali penuh spermaku. Kucabut penisku dan aku terguling di samping Bu Tadi. Bu Tadi miring menghadapku dan tangannya diletakkan di atas perutku. Dia berbisik, “Paa, Nia sudah cukup besar untuk punya adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya paa. Aku ingin dia seorang laki-laki. Sebelum Papa tadi mengeluh Rina belum hamil, aku memang sudah berniat untuk membuatkan Nia seorang adik. Sekalian untuk test apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau aku hamil lagi berarti Papa masih joosss. Kalau nanti pengin menggendong anak, ya gendong saja Nia sama adiknya yang baru saja dibuat ini.” Dia tersenyum manis. Aku diam saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa menggendong anak-anakku.
“Uugh jangan nekad tho. Berat nih”, keluh Bu Tadi.
Aku bertelekan pada telapak tanganku dan dengkulku. Penisku yang sudah tegang banget aku paskan ke vaginanya. Terampil tangan Bu Tadi memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah. Tidak ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam vaginanya. Dengan penuh semangat kukocok vagina Bu Tadi dengan penisku. Bu Tadi semakin naik, menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih. Semakin lama semakin cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.
“Teruuus, teruus paa.. sshh… ssh…” bisik Bu Tadi
“Maa, aku juga sudah mau… keluaarr”,
“Yang dalam paa… yang dalamm. Keluarin di dalaam Paa… Paa… Adduuh Paa nikmat banget Paa…, ouuch..”, jeritnya lirih yang merangkulku kuat-kuat. Kutekan dalam-dalam penisku ke vaginanyanya. Croot, cruuut, crruut, keluarlah spermaku di dalam rahim istri gelapku ini. Napasku seperti terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu Tadi menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik dia aku tindih dan dia merangkul kuat-kuat. Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku. Penisku masih di dalam, aku gerakkan pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali sampai tulang sumsum. Vaginanya licin sekali penuh spermaku. Kucabut penisku dan aku terguling di samping Bu Tadi. Bu Tadi miring menghadapku dan tangannya diletakkan di atas perutku. Dia berbisik, “Paa, Nia sudah cukup besar untuk punya adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya paa. Aku ingin dia seorang laki-laki. Sebelum Papa tadi mengeluh Rina belum hamil, aku memang sudah berniat untuk membuatkan Nia seorang adik. Sekalian untuk test apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau aku hamil lagi berarti Papa masih joosss. Kalau nanti pengin menggendong anak, ya gendong saja Nia sama adiknya yang baru saja dibuat ini.” Dia tersenyum manis. Aku diam saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa menggendong anak-anakku.
Malam itu aku bersetubuh lagi. Sungguh penuh cinta kasih, penuh
kemesraan. Kami tuntaskan kerinduan dan cinta kasih kami malam itu. Dan
aku menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah anakku yang kedua di
rahim istri gelapku ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar