Awal aku mengenalnya
pada saat dia mengundang perusahaan tempatku bekerja untuk memberikan penjelasan lengkap mengenai produk yang akan dipesannya.
Sebagai marketing, perusahaan mengutusku untuk menemuinya. Pada awal
pertemuan siang itu, aku sama sekali tidak menduga bahwa Ibu Bella yang
kutemui ternyata pemilik langsung perusahaan. Wajahnya cantik, kulitnya
putih laksana pualam, tubuhnya tinggi langsing (Sekitar 175 cm) dengan
dada yang menonjol indah. Dan pinggulnya yang dibalut span ketat membuat
bentuk pinggangnya yang ramping kian mempesona, juga pantatnya wah..
sungguh sangat montok, bulat dan masih kencang.
Sepanjang pembicaraan dengannya, konsentrasiku tidak
100%, melihat gaya bicaranya yang intelek, gerakan bibirnya yang
sensual saat sedang bicara, apalagi kalau sedang menunduk belahan buah
dadanya nampak jelas, putih dan besar.
Di sofa yang berada di ruangannya yang mewah dan lux, kami akhirnya
sepakat mengikat kontrak kerja. Sambil menunggu sekretaris Ibu Bella
membuat kontrak kerja, kami mengobrol kesana-kemari bahkan sampai ke hal
yang agak pribadi. Aku berani bicara kearah sana karena Ibu Bella
sendiri yang memulai. Dari pembicaraan itu, baru kuketahui bahwa usianya
baru 25 tahun, dia memegang jabatan direktur sekaligus pemilik
perusahaan menggantikan almarhum suaminya yang meninggal karena
kecelakaan pesawat.
“Pak gala sendiri umur berapa”, bisiknya dengan nada mesra.
“Saya umur 26 tahun, Bu!” balasku.
“sudah berkeluarga”, pertanyaannya semakin menjurus, aku sampai GR sendiri.
“Belum, Bu!”
Tanpa kutanya, Ibu Bella menerangkan bahwa sejak kematian suaminya setahun lalu, dia belum mendapatkan penggantinya.
“Ibu cantik, masih muda, saya rasa seribu lelaki akan berlomba mendapatkan Ibu bella”, aku sedikit memujinya.
“Memang, ada benarnya juga yang Bapak Gala ucapkan, tapi mereka
rata-rata juga mengincar kekayaan saya”, nadanya sedikit merendah.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu, Ibu Bella bangkit berdiri
membukakan pintu, ternyata sekretarisnya telah selesai membuat kontrak
kerjanya.
“Kalau begitu, saya permisi pulang, Bu!, semoga kerjasama ini dapat
bertahan dan saling menguntungkan”, aku segera pamit dan mengulurkan
tangan.
“Semoga saja”, tangannya menyambut uluran tanganku.
“Terima kasih atas kunjungannya, pak Gala.”
Cukup lama kami bersalaman, aku merasakan kelembutan tangannya yang
bagaikan sutera, namun sebentar kemudian aku segera menarik tanganku,
takut dikira kurang ajar. Namun naluri laki-lakiku bekerja, dengan halus
aku mulai merancang strategi mendekatinya.
“Oh ya, Bu Bella, sebelum saya lupa, sebagai perkenalan dan mengawali
kerjasama kita, bagaimana kalau Ibu Bella saya undang untuk makan malam
bersama”, aku mulai memasang jerat.
“Terima kasih”, jawabnya singkat.
“Mungkin lain waktu, saya hubungi Pak Gala, untuk tawaran ini.”
“Saya tunggu, Bu.. permisi”
Aku tak mau mendesaknya lebih lanjut. Aku segera meninggalkan kantor
Ibu Bella dengan sejuta pikiran menggelayuti benakku. Sepanjang
perjalanan, aku selalu terbayang kecantikan wajahnya, postur tubuhnya
yang ideal. Ah.. kayaknya semua kriteria cewek idaman ada padanya.
Tak terasa satu bulan sejak pertemuan itu, meskipun aku sering mampir ke
tempat Ibu Bella dalam kurun waktu tersebut, tapi tidak kutemui
tanda-tanda aku bisa mengajaknya sekedar Dinner. Meskipun hubunganku
dengannya menjadi semakin akrab.
Menginjak bulan ke-2, akhirnya aku bisa mengajaknya keluar sekedar
makan malam. Aku ingat sekali waktu itu malam Minggu, kami bagai
sepasang kekasih, meskipun pada awalnya dia ngotot ingin menggunakan
mobilnya yang mewah, akhirnya dia bersedia juga menggunakan mobil
Katanaku yang bisa bikin perut mules.
Beberapa kali malam Minggu kami keluar, sungguh aku jadi bingung
sendiri, aku hanya berani menggenggam jarinya saja, itupun aku
gemetaran, degup-degup di jantungku terasa berdetak kencang padahal
hubungan kami sudah sangat dekat, bahkan aku dan dia sama-sama saling
memanggil nama saja, tanpa embel-embel Pak atau Bu.
Sampai pada malam Minggu yang kesekian kalinya, kuberanikan diri
untuk memulainya, waktu itu kami di dalam bioskop. Dalam keremangan, aku
menggenggam jarinya, kuelus dengan mesra, kelembutan jarinya
mengantarkan desiran-desiran aneh di tubuhku, kucoba mencium tangannya
pelan, tidak ada respon, kulepas jemari tangannya dengan lembut.
Kurapatkan tubuhku dengan tubuhnya, kupandangi wajahnya yang sedang
serius menatap layar bioskop.
Dengan keberanian yang kupaksakan, kukecup pipinya. Dia terkejut,
sebentar memandangku. Aku berpikir pasti dia akan marah, tapi respon
yang kuterima sungguh membuatku kaget. Dengan tiba-tiba dia memelukku,
mulutnya yang mungil langsung menyambar mulutku dan melumatnya. Sekian
detik aku terpana, tapi segera aku sadar dan balas melumat bibirnya,
ciumannya makin ganas, lidah kami saling membelit mencoba menelusuri
rongga mulut lawan. Sementara tangannya semakin kuat mencengkram bahuku.
Aku mulai beraksi, tanganku bergerak merambat ke punggungnya, kuusap
lembut punggungnya, bibirku yang terlepas menjalar ke lehernya yang
jenjang dan putih, aku menggelitik belakang telinganya dengan lidahku.
“Bella, aku sayang kamu”, kubisikkan kalimat mesra di telinganya.
“Gal, akupun sayang kamu”, suaranya sedikit mendesah menahan birahinya yang mulai bangkit.
Dan saat tanganku menyusup ke dalam blousnya, erangannya semakin jelas
terdengar. Aku merasakan kelembutan buah dadanya, kenyal. Kupilin halus
putingnnya, sementara tanganku yang satunya menelusuri pinggangnya dan
meremas-remas pinggulnya yang sangat bahenol.
Segera kubuka kancing blous bagian depannya, suasana bioskop yang gelap
sangat kontras sekali dengan buah dadanya yang putih. Perlahan
kukeluarkan buah dadanya dari branya, kini di depanku terpampang buah
dadanya yang sangat indah, kucium dan kujilat belahannya, hidungku
bersembunyi diantara belahan dadanya, lidahku yang basah dan hangat
terus menciumi sekelilingnya perlahan naik hingga ke bagian putingnya.
Kuhisap pelan putingnya yang masih mungil, kugigit lembut, kudorong
dengan lidahku. Bella semakin meracau. Tanganya menekan kuat kepalaku
saat putingnya kuhisap agak kuat. Sementara aku merasakan gerakan di
celanaku semakin kuat, senjataku sudah menegang maksimal.
Tanganku yang satunya sudah bergerak ke pahanya, spannya kutarik ke
atas hingga batang pahanya tampak mulus, putih. Kubelai, kupilin pahanya
sementara mulutku mengisap terus puting buah dadanya kiri dan kanan.
Dan saat jariku sampai di pangkal pahanya, aku menemukan celana
dalamnya. Perlahan jari-jariku masuk lewat celah celana dalamnya,
kugeser ke kiri, akhirnya jari-jariku menemukan rambut kemaluannya yang
sangat lebat.
Dengan tak sabar, kugosokkan jariku di klitorisnya sementara mulutku
masih asyik menjilati puting buah dadanya yang semakin mencuat ke atas
pertanda gairahnya sudah memuncak, meskipun jari-jariku sedikit
terhalang celana dalamnya tapi aku masih dapat menggesek klitorisnya,
bahkan dengan cepat kumasukkan jariku ke dalam celahnya yang lembat,
terasa agak basah. Jariku berputar-putar di dalamnya, sampai kutemukan
tonjolan lembut bergerigi di dalam kemaluannya, kutekan dengan lembut
G-spotnya itu, kekiri dan kekanan perlahan.
“Achhh… Gala.. aku sudah nggak tahan.. Terus Gal… oh…” Suaranya makin
keras, birahinya sudah dipuncak. Tangannya menekan kepalaku ke buah
dadanya hingga aku sulit bernafas, sementara tangan yang satunya menekan
tanganku yang di kemaluannya semakin dalam. Akhirnya kurasakan seluruh
tubuhnya bergetar, kuhisap kuat puting susunya, kumasukkan jariku
semakin dalam. “Ahhh… oh.. Gal.. aku ke..lu..ar…” Kurasakan jariku
hangat dan basah. “Makasih Gal, sudah lama aku tak merasakan kenikmatan
ini.” Aku hanya bisa diam, menahan tegangnya senjataku yang belum
terlampiaskan tapi rupanya Bella sangat pengertian. Dengan lincahnya
dibukanya reitsleting celanaku, jari-jarinya mencari senjataku. Aku
membantunya dengan menggerakan sedikit tubuhku. Saat tangannya
mendapatkan apa yang dicarinya, sungguh reaksinya sangat hebat. “Oh…
besar sekali Gal.. aku suka.. aku suka barang yang besar..” Bella
seperti anak kecil yang mendapatkan permen.
Senjataku yang sudah kaku perlahan dikocoknya, aku merasakan nikmat
atas perlakuannya, sementara tangannya asyik mengocok batang senjataku,
tangan satunya membuka kancing bajuku, mulutnya yang basah menciumi
dadaku dan menjilati putingku, sesekali Bella menghisap putingku. Aliran
darahku semakin panas, gairahku makin terbakar. Aku merasakan spermaku
sudah mengumpul di ujung, sementara kepala senjataku semakin basah oleh
pelumas yang keluar.
“Bella, aku sudah nggak tahan…”
“Tahan sebentar, Gal..”
Bella melepaskan jilatan lidahnya di dadaku dan langsung memasukkan
senjataku ke dalam mulutnya, aku merasakan kuluman mulutnya yang hangat
dan sempit. Kulihat mulutnya yang mungil sampai sesak oleh kemaluanku.
Bella semakin kuat mengocok batang senjataku ke dalam mulutnya. Akhirnya
kakiku sedikit mengejang untuk melepaskan spermaku. “Awas Bell, aku mau
keluar..” kutarik rambutnya agar menjauh dari batang senjataku, tapi
Bella malah memasukkan senjataku ke dalam mulutnya lebih dalam, aku tak
tahan lagi, kulepaskan tembakanku, 7 kali denyutan cukup memenuhi
mulutnya yang mungil dengan spermaku. Bella dengan lahap langsung
menelannya dan membersihkan cairan yang tertinggal di kepala senjataku
dengan lidahnya. Aku menarik nafas panjang mengatur degup jantungku yang
tadi sangat cepat.
Setelah lampu menyala kembali pertanda pertunjukan telah usai, kami
sudah rapi kembali. Kulihat jam di pergelangan tanganku menunjukan pukul
10.00 malam. Aku langsung mengantarnya pulang, dalam perjalanan kami
tak banyak bicara, kami saling memikirkan kejadian yang baru saja kami
alami bersama.
Sampai di rumahnya yang mewah di bilangan Pluit, aku langsung
ditariknya menuju kamar pribadinya yang sangat luas. “Gal, saya belum
puas, kita teruskan permainan yang tadi..” Tangannya langsung membuka
kancing bajuku dan mulai membangkitkan gairahku, sementara pikiranku
semakin bingung, kenapa Bella yang tadinya kalem bisa berubah ganas
begini? Tapi pikiranku kalah dengan gairah yang mulai berkobar di
dadaku, terlebih saat tangannya dengan lihai mengusap dadaku. Bagai
musafir seluruh tubuhku dicium dan dijilatinya dengan penuh nafsu. Aku
pun tak mau kalah sigap, di ranjangnya yang empuk kami bergulat saling
memilin, melumat, dan saling menghisap.
Saat pakaian kami mulai tertanggal dari tempatnya. Kami saling
melihat, aku melihat kesempurnaan tubuhnya, apalagi di daerah
selangkangannya yang putih bersih, sangat kontras dengan bulu
kemaluannya yang sangat hitam dan lebat. Dan Bella memandangi senjataku
yang mengacung menunjuk langit-langit kamar. Hanya sebentar kami
berpandangan, aku langsung meraih tubuhnya dan memapahnya ke ranjang.
Kuletakkan hati-hati tubuhnya yang gempal dan lembut, aku mulai menciumi
seluruh tubuhnya, lidahku menari-nari dari leher sampai ke jari-jari
kakinya. Kuhisap puting buah dadanya yang kemerahan, kujilat dan
sesekali kugigit mesra. Ssementara tanganku yang lain meremas-remas
pinggul dan pantatnya yang sangat kenyal.
Pergulatan kami semakin seru, kini posisi kami berbalikan seperti
angka 69, kami saling menghisap puting dada. Saat aku memainkan puting
dadanya yang sudah mencuat, lidahnya menjilati putingku. Aku turun
menjilati perutnya, kurasakan juga perutku dijilati dan akhirnya lidah
kami saling menghisap kemaluan.
Aku merasakan hangat di kepala senjataku saat lidahku menari-nari
menelusuri celah kemaluannya, lidahku semakin dalam masuk ke dalam celah
kewanitaannya yang telah basah, kuhisap klitorisnya kuat-kuat,
kurasakan tubuhnya bergetar hebat.
Lima belas menit sudah kami saling menghisap, nafsuku yang sudah di
ubun-ubun menuntut penyelesaian. Segera aku membalikkan tubuhku. Kini
kami kembali saling melumat bibir, sementara senjataku yang sudah basah
oleh liurnya kuarahkan ke celah pahanya, sekuat tenaga aku mendorongnya
namun sulit sekali. Tubuh kami sudah bersimbah peluh. Akhirnya tak sabar
tangan Bella memandu senjataku, setelah sampai di pintu kemaluannya,
kutekan kuat, Bella membuka pahanya lebar-lebar dan senjataku melesak ke
dalam kemaluannya. Kepala senjataku sudah berada di dalam celahnya,
hangat dan menggigit. Kutahan pantatku, aku menikmati remasan
kemaluannya di batanganku. Perlahan kutekan pantatku, senjataku amblas
sedalam-dalamnya. Gigi Bella yang runcing tertancap di lenganku saat aku
mulai menaikturunkan pantatku dengan gerakan teratur.
Remasan dan gigitan liang kewanitaannya di seluruh batang senjataku
terasa sangat nikmat. Kubalikan tubuhnya, kini tubuh Bella menghadap ke
samping. Senjataku menghujam semakin dalam, kuangkat sebelah kakinya ke
pundakku. Batang senjataku amblas sampai mentok di mulut rahimnya. Puas
dari samping, tanpa mencabut senjataku, kuangkat tubuhnya, dengan
gerakan elastis kini aku menghajarnya dari belakang. Tanganku meremas
bongkahan pantatnya dengan kuat, sementara senjataku keluar masuk
semakin cepat. Erangan dan rintihan yang tak jelas terdengar lirih,
membuat semangatku semakin bertambah. Ketika kurasakan ada yang mau
keluar dari kemaluanku, segera kucabut senjataku. “Pllop..” terdengar
suara saat senjataku kucabut, mungkin karena ketatnya lubang kemaluan
Bella mencengkram senjataku. “Achh, kenapa Gal.. aku sedikit lagi”,
protes Bella. Dia langsung mendorong tubuhku, kini aku telentang di
bawah, dengan sigap Bella meraih senjataku dan memasukkannya ke dalam
lubang sorganya sambil berjongkok.
Kini Bella dengan buasnya menaikturunkan pantatnya, sementara aku di
bawah sudah tak sanggup rasanya menahan nikmat yang kuterima dari
gerakan Bella, apalagi saat pinggulnya sambil naik-turun digoyangkan
juga diputar-putar, aku bertahan sekuat mungkin.
Satu jam sudah berlalu, kulihat Bella semakin cepat bergerak, cepat
hingga akhirnya aku merasakan semburan hangat di senjataku saat tubuhnya
bergetar dan mulutnya meracau panjang. “Oh.. aku puas Gal, sangat
puas..” tubuhnya tengkurap di atas tubuhku, namun senjataku yang sudah
berdenyut-denyut belum tercabut dari kemaluannya. Kurasakan buah dadanya
yang montok menekan tubuhku seirama dengan tarikan nafasnya.
Setelah beberapa saat, aku sudah merasakan air maniku tidak jadi
keluar, segera kubalikkan tubuhnya kembali. Kini dengan gaya
konvensional aku mencoba meraih puncak kenikmatan, kemaluannya yang agak
basah tidak mengurangi kenikmatan. Aku terus menggerakkan tubuhku.
Perlahan gairahnya kembali bangkit, terlebih saat batang senjataku
mengorek-ngorek lubang kemaluannya kadang sedikit kuangkat pantatku agar
G-spotnya tersentuh. Kini pinggul Bella yang seksi mulai bergoyang
seirama dengan gerakan pantatku. Jari-jarinya yang lentik mengusap
dadaku, putingku dipilin-pilinnya, hingga sensasi yang kurasakan tambah
gila.
Setengah jam sudah aku bertahan dengan gaya konvensional. Perlahan
aku mulai merasakan cairanku sudah kembali ke ujung kepala senjataku.
Saat gerakanku sudah tak beraturan lagi, berbarengan dengan hisapan
Bella pada putingku dan pitingan kakinya di pinggangku, kusemprotkan air
maniku ke dalam kemaluannya, kami berbarengan orgasme.
Sejak kejadian itu, kami sering melakukannya. Aku baru tahu bahwa
gairahnya sangat tinggi, selama ini dia bersikap alim, karena tidak mau
sembarangan main dengan cowok. Dia mau denganku karena aku sabar, baik
dan tidak mengejar kekayaannya. Apalagi begitu dia tahu bahwa senjataku
dua kali lipat mantan suaminya, tambah lengket saja. Memang yang kukejar
hanyalah kenikmatan dunia yang didasari Cinta. Kalau harta sih, ada
sukur, nggak ada ya.. cari dong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar