Awal mula dari cerita ini adalah ketika saya baru saja tinggal di
sebuah daerah perumahan yang relatif baru di daerah pinggiran kota-maaf,
nama daerah tersebut tidak saya sebutkan mengingat untuk menjaga nama
baik dan harga diri keluarga terutama suami dan kedua anak saya. Saya
tinggal di situ baru sekitar 6 bulanan.
Karena daerah perumahan tersebut masih baru maka jumlah keluarga yang
menempati rumah di situ masih relatif sedikit tetapi khusus untuk blok
daerah rumah saya sudah lumayan banyak dan ramai. Rata-rata keluarga
kecil seperti keluarga saya juga yaitu yang sudah masuk generasi
Keluarga Berencana, rata-rata hanya mempunyai dua anak tetapi ada juga
yang hanya satu anak saja.
Sudah seperti biasanya bila kita menempati daerah perumahan baru,
saya dengan sengaja berusaha untuk banyak bergaul dengan para tetangga
bahkan juga dengan tetangga-tetangga di blok yang lain. Dari hasil
bergaul tersebut timbul kesepakatan di antara ibu-ibu di blok daerah
rumahku untuk mengadakan arisan sekali dalam sebulan dan diadakan
bergiliran di setiap rumah pesertanya.
Suatu ketika sedang berlangsung acara arisan tersebut di sebuah rumah
yang berada di deretan depan rumahku, pemilik rumah tersebut biasa
dipanggil Bu Soni (bukan nama sebenarnya) dan sudah lebih dulu satu
tahun tinggal di daerah perumahan ini daripada saya. Bu Soni bisa
dibilang ramah, banyak ngomongnya dan senang bercanda dan sampai saat
tulisan ini aku buat dia baru mempunyai satu anak, perempuan, berusia 8
tahun walaupun usia rumah tangganya sudah 10 tahun sedangkan aku sudah
30 tahun. Aku menikah ketika masih berusia 22 tahun. Suaminya bekerja di
sebuah perusahaan swasta dan kehidupannya juga bisa dibilang kecukupan.
Setelah acara arisan selesai saya masih tetap asyik ngobrol dengan Bu
Soni karena tertarik dengan keramahan dan banyak omongnya itu sekalipun
ibu-ibu yang lain sudah pulang semua. Dia kemudian bertanya tentang
keluargaku, “Jeng Mar. Putra-putranya itu sudah umur berapa, sih, kok
sudah dewasa-dewasa, ya?” (Jeng Mar adalah nama panggilanku tetapi bukan
sebenarnya) tanya Bu Soni kepadaku.
“Kalau yang pertama 18 tahun dan yang paling ragil itu 14 tahun. Cuma
yaitu Bu, nakalnya wah, wah, waa.. Aah benar-benar, deh. Saya, tuh, suka
capek marahinnya.”
“Lho, ya, namanya juga anak laki-laki. Ya, biasalah, Jeng.”
“Lebih nikmat situ, ya. Anak cuma satu dan perempuan lagi. Nggak bengal.”
“Ah, siapa bilang Jeng Mar. Sama kok. Cuma yaitu, saya dari dulu, ya,
cuma satu saja. Sebetulnya saya ingin punya satu lagi, deh. Ya, seperti
situ.”
“Lho, mbok ya bilang saja sama suaminya. ee.. siapa tahu ada rejeki, si
putri tunggalnya itu bisa punya adik. Situ juga sama suaminya kan masih
sama-sama muda.”
“Ya, itulah Jeng. Papanya itu lho, suka susah. Dulu, ya, waktu kami mau
mulai berumah tangga sepakat untuk punya dua saja. Ya, itung-itung
mengikuti program pemerintah, toh, Jeng. Tapi nggak tahu lah papanya
tuh. Kayaknya sekarang malah tambah asik saja sama kerjaannya. Terlalu
sering capek.”
“O, itu toh. Ya, mbok diberi tahu saja kalau sewaktu-waktu punya
perhatian sama keluarga. ‘Kan yang namanya kerja itu juga butuh
istirahat. Mbok dirayu lah gitu.”
“Wah, sudah dari dulu Jeng. Tapi, ya, tetap susah saja, tuh. Sebenernya
ini, lho, Jeng Mar. Eh, maaf, ya, Jeng kalo’ saya omongin. Tapi Jeng Mar
tentunya juga tau dong masalah suami-istri ‘kan.”
“Ya, memang. Ya, orang-orang yang sudah seperti kita ini masalahnya
sudah macem-macem, toh, Bu. Sebenarnya Bu Soni ini ada masalah apa,
toh?”
“Ya, begini Jeng, suami saya itu kalo’ bergaul sama saya suka
cepet-cepet mau rampung saja, lho. Padahal yang namanya istri seperti
kita-kita ini ‘kan juga ingin membutuhkan kenikmatan yang lebih lama,
toh, Jeng.”
“O, itu, toh. Mungkin situ kurang lama merayunya. Mungkin suaminya butuh variasi atau model yang agak macem-macem, gitu.”
“Ya, seperti apa ya, Jeng. Dia itu kalo’ lagi mau, yang langsung saja.
Saya seringnya nggak dirangsang apa-apa. Kalo’ Jeng Mar, gimana, toh?
Eh, maaf lho, Jeng.”
“Kalo’ saya dan suami saya itu saling rayu-merayu dulu. Kalo’ suami saya
yang mulai duluan, ya, dia biasanya ngajak bercanda dulu dan akhirnya
menjurus yang ke porno-porno gitulah. Sama seperti saya juga kalau
misalnya saya yang mau duluan.””Terus apa cuma gitu saja, Jeng.”
“O, ya tidak. Kalo’ saya yang merayu, biasanya punya suami saya itu saya
pegang-pegang. Ukurannya besar dan panjang, lho. Terus untuk lebih
menggairahkannya, ya, punyanya itu saya enyot dengan mulut saya. Saya
isep-isep.”
“ii.. Iih. Jeng Mar, ih. Apa nggak jijik, tuh? Saya saja membayangkannya juga sudah geli. Hii..”
“Ya, dulu waktu pertama kali, ya, jijik juga, sih. Tetapi suami saya itu
selalu rajin, kok, membersihkan gituannya, jadi ya lama-lama buat saya
nikmat juga. Soalnya ukurannya itu, sih, yang lumayan besar. Saya
sendiri suka gampang terangsang kalo’ lagi ngeliat. Mungkin situ juga
kalo’ ngeliat, wah pasti kepengen, deh.”
“Ih, saya belon pernah, tuh, Jeng. Lalu kalo’ suaminya duluan yang mulai begimana?”
“Saya ditelanjangi sampai polos sama sekali. Dia paling suka
merema-remas payudara saya dan juga menjilati putingnya dan kadang
lagaknya seperti bayi yang sedang mengenyot susu.”, kataku sambil ketawa
dan tampak Bu Soni juga tertawa.
“Habis itu badan saya dijilati dan dia juga paling suka menjilati
kepunyaan saya. Rasanya buat saya, ya, nikmat juga dan biasanya saya
semakin terangsang untuk begituan. Dia juga pernah bilang sama saya
kalo’ punya saya itu semakin nikmat dan saya disuruh meliara baik-baik.”
“Ah, tapi untuk yang begituan itu saya dan suami saya sama sekali belum
pernah, lho, Jeng. Tapi mungkin ada baiknya untuk dicoba juga, ya, Jeng.
Tapi tadi itu masalah yang situ dijilatin punyanya. Rasa enaknya
seperti apa, sih, Jeng.”
“Wah, Bu Soni ini, kok, seperti kurang pergaulan saja, toh.”
“Lho, terus terang Jeng. Memang saya belon pernah, kok.”
“Ya, geli-geli begitulah. Susah juga untuk dijelasin kalo’ belum pernah merasakan sendiri.” Lalu kami berdua tertawa.
Setelah berhenti tertawa, aku bertanya, “Bu Soni mau tau rasanya kalau gituannya dijilati?”
“Yah, nanti saya rayu, deh, suami saya. Mungkin nikmat juga ya.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Apa perlu saya dulu yang coba?”, tanyaku sambil bercanda dan tersenyum.
“Hush!! Jeng Mar ini ada-ada saja, ah”, sambil tertawa.
“Ya, biar tidak kaget ketika dengan suaminya nanti. Kita ‘kan juga sama-sama wanita.”
“Wah, kayak lesbian saja. Nanti saya jadi ketagihan, lho. Malah takutnya
lebih senang sama situ daripada sama suami saya sendiri. Ih! Malu’
akh.”, sambil tertawa.
“Atau kalo’ nggak mau gitu, nanti saya kasih tau gimana membuat
penampilan bulu gituannya biar suaminya situ tertarik. Kadang-kadang
bentuk dan penataannya juga mempengaruhi rangsangan suami, lho, Bu
Soni.”
“Ah, Jeng ini.”
“Ee! Betul, lho. Mungkin bentuk bulu-bulu gituannya Bu Soni
penampilannya kurang merangsang. Kalo’ boleh saya lihat sebentar
gimana?”
“Wah, ya, gimana ya. Tapii.. ya boleh, deh. Eh, tapi saya juga boleh
liat donk punyanya situ. Sama-sama donk, ‘kan kata Jeng tadi kita ini
sama-sama wanita.””Ya, ‘kan saya cuma mau bantu situ supaya bisa usaha
untuk punya anak lagi.””Kalo’ gitu kita ke kamar saja, deh. Suami saya
juga biasanya pulang malam. Yuk, Jeng.”
Langsung kita berdua ke kamar Bu Soni. Kamarnya cukup tertata rapi,
tempat tidurnya cukup besar dan dengan kasur busa. Di dindingnya ada
tergantung beberapa foto Bu Soni dan suaminya dan ada juga foto
sekeluarga dengan anaknya yang masih semata wayang. Saya kemudian ke
luar sebentar untuk telepon ke rumah kalau pulangnya agak telat karena
ada urusan dengan perkumpulan ibu-ibu dan kebetulan yang menerima
suamiku sendiri dan ternyata dia setuju saja.
Setelah kita berdua di kamar, Bu Soni bertanya kepadaku, “Bagaimana Jeng? Kira-kira siap?”
“Ayolah. Apa sebaiknya kita langsung telanjang bulat saja?”
“OK, deh.”, jawab Bu Soni dengan agak tersenyum malu. Akhirnya kita
berdua mulai melepas pakaian satu-persatu dan akhirnya polos lah semua.
Bulu kemaluan Bu Soni cukup lebat juga hanya bentuknya keriting dan
menyebar, tidak seperti miliku yang lurus dan tertata dengan bentuk
segitiga ke arah bawah. Lalu aku menyentuh payudaranya yang agak bulat
tetapi tidak terlalu besar, “Lumayan juga, lho, Bu.” Lalu Bu Soni pun
langsung memegang payudaraku juga sambil berkata, “Sama juga seperti
punya Jeng.” Aku pun minta ijin untuk mengulum kedua payudaranya dan dia
langsung menyanggupi.
Kujilati kedua putingnya yang berwarna agak kecoklat-coklatan tetapi
lumayan nikmat juga. Lalu kujilati secara keseluruhan payudaranya. Bu
Soni nampak terangsang dan napasnya mulai memburu. “Enak juga, ya, Jeng.
Boleh punya Jeng saya coba juga?””Silakan saja.”, ijinku. Lalu Bu Soni
pun melakukannya dan tampak sekali kalau dia masih sangat kaku dalam
soal seks, jilatan dan kulumannya masih terasa kaku dan kurang begitu
merangsang. Tetapi lumayanlah, dengan cara seperti ini aku secara tidak
langsung sudah menolong dia untuk bisa mendapatkan anak lagi.
Setelah selesai saling menjilati payudara, kami berdua duduk-duduk di
atas tempat tidur berkasur busa yang cukup empuk. Aku kemudian memohon
Bu Soni untuk melihat liang kewanitaannya lebih jelas, “Bu Soni. Boleh
nggak saya liat gituannya? Kok bulu-bulunya agak keriting. Tidak seperti
milik saya, lurus-lurus dan lembut.” Dengan agak malu Bu Soni
membolehkan, “Yaa.. silakan saja, deh, Jeng.” Aku menyuruh dia, “Rebahin
saja badannya terus tolong kangkangin kakinya yang lebar.” Begitu dia
lakukan semuanya terlihatlah daging kemaluannya yang memerah segar
dengan bibirnya yang sudah agak keluar dikelilingi oleh bulu yang cukup
lebat dan keriting. mm.. Cukup merangsang juga penampilannya.
Kudekatkan wajahku ke liang kewanitaannya lalu kukatakan kepada Bu
Soni bahwa bentuk kemaluannya sudah cukup merangsang hanya saja akan
lebih indah pemandangannya bila bulunya sering disisir agar semakin
lurus dan rapi seperti milikku. Lalu kusentuh-sentuh daging kemaluannya
dengan tanganku, empuk dan tampak cukup terpelihara baik, bersih dan
tidak ada bau apa-apa. Nampak dia agak kegelian ketika sentuhan tanganku
mendarat di permukaan alat kelaminnya dan dia mengeluh lirih, “Aduh,
geli, lho, Jeng.”
“Apa lagi kalo’ dijilat, Bu Soni. Nikmat, deh. Boleh saya coba?”
“Aduh, gimana, ya, Jeng. Saya masih jijik, sih.”
“Makanya dicoba.”, kataku sambil kuelus salah satu pahanya.
“mm.. Ya, silakan, deh, Jeng. Tapi saya tutup mata saja, ah.”
Lalu kucium bibir kemaluannya sekali, chuph!! “aa.. Aah.”, Bu Soni
mengerang dan agak mengangkat badannya. Lalu kutanya, “Kenapa? Sakit,
ya?” Dia menjawab, “Geli sekali.” “Saya teruskan, ya?” Bu Soni pun hanya
mengangguk sambil tersenyum. Kuciumi lagi bibir kemaluannya
berkali-kali dan rasa geli yang dia rasakan membuat kedua kakinya
bergerak-gerak tetapi kupegangi kedua pangkal pahanya erat-erat.
Badannya bergerinjal-gerinjal, pantatnya naik turun. Uh! Pemandangan
yang lucu sekali, aku pun sempat ketawa melihatnya. Saya keluarkan lidah
dan saya sentuhkan ujungnya ke bibir kemaluannya berkali-kali. Oh! Aku
semakin terbawa napsu. Kujilati keseluruhan permukaan memeknya,
gerakanku semakin cepat dan ganas. Oh, Bu Soni, memekmu nikmaa..aat
sekali.
Aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Semua terkonsentrasi pada pekerjaan
menjilati liang kewanitaan Bu Soni. Emm.., Enak sekali. Terus kujilati
dengan penuh napsu. Pinggir ke tengah dan gerakan melingkar. Kumasukan
lidahku ke dalam celah bibir kemaluannya yang sudah mulai membuka. Ouw!
Hangat sekali dan cairannya mulai keluar dan terasa agak asin dan baunya
yang khas mulai menyengat ke dalam lubang hidungku. Tapi aku tak
peduli, yang penting rasa kemaluan Bu Soni semakin lezat apalagi
dibumbui dengan cairan yang keluar semakin banyak. Kuoleskan ke seluruh
permukaan kemaluannya dengan lidahku. Jilatanku semakin licin dan
seolah-olah semua makanan yang ku makan pada saat acara arisan tadi
rasanya tidak ada apa-apanya. Badan Bu Soni bergerinjal semakin hebat
begitu juga pantatnya naik-turun dengan drastis. Dia mengerang lirih,
“aa.. Ah, ee.. Eekh, ee.. Eekh, Jee.. Eeng, auw, oo.. Ooh. Emm.. Mmh.
Hah, hah, hah,.. Hah.” Dan saat mencapai klimaks dia merintih, “aa..,
aa.., aa.., aa.., aah”, Cairan kewanitaannya keluar agak banyak dan
deras. OK, nampaknya Bu Soni sudah mencapai titik puncaknya.
Tampak Bu Soni telentang lemas dan aku tanya, “Bagaimana? Enak? Ada rasa puas?” “Lumayan nikmat, Jeng. Situ nggak jijik, ya.”
“Kan sudah biasa juga sama suami.” Kemudian aku bertanya sembari bercanda, “Situ mau coba punya saya juga?”
“Ah, Jeng ini. Jijik ‘kan.”, sembari ketawa.
“Yaa.. Mungkin belon dicoba. Punya saya selalu bersih, kok. ‘Kan suami
saya selalu mengingatkan saya untuk memeliharanya.” Kemudian Bu Soni
agak berpikir, mungkin ragu-ragu antara mau atau tidak. Lalu, “Boleh,
deh, Jeng. Tapi saya pelan-pelan saja, ah. Nggak berani lama-lama.”
“Ya, ndak apa-apa. ‘Kan katanya situ belum biasa. Betul? Mau coba?”
tantangku sembari senyum. Lalu dia cuma mengangguk. Kemudian aku
menelentangkan badanku dan langsung kukangkangkan kedua kakiku agar
terlihat liang kewanitaanku yang masih indah bentuknya. Tampak Bu Soni
mulai mendekatkan wajahnya ke liang kewanitaanku lalu berkata, “Wah,
Jeng bulu-bulunya lurus, lemas dan teratur. Pantes suaminya selalu
bergairah.” Aku hanya tertawa.
Tak lama kemudian aku rasakan sesuatu yang agak basah menyentuh
kemaluanku. Kepalaku aku angkat dan terlihat Bu Soni mulai berani
menyentuh-nyentuhkan ujung lidahnya ke liang kewanitaanku. Kuberi dia
semangat, “Terus, terus, Bu. Saya merasa nikmat, kok”. Dia hanya
memandangku dan tersenyum. Kurebahkan lagi seluruh tubuhku dan kurasakan
semakin luas penampang lidah Bu Soni menjilati liang kewanitaan saya.
Oh! Aku mulai terangsang. Emm.. Mmh. Bu Soni sudah mulai berani. oo..
Ooh nikmat sekali. Sedaa.. Aap. Terasa semakin lincah gerakan lidahnya,
aku angkat kepalaku dan kulihat Bu Soni sudah mulai tenggelam dalam
kenikmatan, rupanya rasa jijik sudah mulai sirna. Gerakan lidahnya masih
terasa kaku, tetapi ini sudah merupakan perkembangan. Syukurlah.
Mudah-mudahan dia bisa bercumbu lebih hebat dengan suaminya nanti.
Lama-kelamaan semakin nikmat. Aku merintih nikmat, “Emm.. Mmh. Ouw.
aa.. Aah, aa.. Aah. uu.. uuh. te.. te.. Rus teruu..uus.” Bibir
kemaluanku terasa dikulum oleh bibir mulut Bu Soni. Terasa dia menciumi
kemaluanku dengan bernafsu. Emm.. Mmh, enaknya. Untuk lebih nikmat Bu
Soni kusuruh, “Pegang dan elus-elus paha saya. Enak sekali Bu.” Dengan
spontan kedua tangannya langsung mengayunkan elusannya di pahaku. Dia
mainkan sampai pangkal paha. Bukan main! Sudah sama layaknya aku main
dengan suamiku sendiri. Terlihat Bu Soni sudah betul-betul asyik dan
sibuk menjilati liang kewanitaanku. Gerakan ke atas ke bawah melingkar
ke seluruh liang kewanitaanku. Seolah-olah dia sudah mulai terlatih.
Kemudian aku suruh dia untuk menyisipkan lidahnya ke dalam liang
kewanitaanku. Dahinya agak berkerut tetapi dicobanya juga dengan menekan
lidahnya ke lubang di antara bibir kemaluan saya. “Aaa.. Aakh! Nikmat
sekali. Aku mulai naik untuk mencapai klimaks. Kedua tangannya terus
mengelus kedua pahaku tanpa henti. Aku mulai naik dan terasa lubang
kemaluanku semakin hangat, mungkin lendir kemaluanku sudah banyak yang
keluar. Akhirnya aku pun mencapai klimaks dan aku merintih, “aa.. Aah,
uuh”. Sialan Bu Soni tampaknya masih asyik menjilati sedangkan badanku
sudah mulai lemas dan lelah. Bu Soni pun bertanya karena gerak kaki dan
badanku berhenti, “Gimana, Jeng?” Aku berkata lirih sambil senyum
kepadanya, “Jempolan. Sekarang Bu Soni sudah mulai pinter.” Dia hanya
tersenyum.
Aku tanya kembali, “Bagaimana? Situ masih jijik nggak?”
“Sedikit, kok.”, jawabnya sembari tertawa, dan akupun ikut tertawa geli.
“Begitulah Bu Soni. Mudah-mudahan bisa dilanjutkan lebih mesra lagi dengan suaminya, tetapi jangan bilang, lho, dari saya.”
“oo.., ya, ndak, toh, Jeng. Saya ‘kan juga malu. Nanti semua orang tahu
bagaimana?””Sekarang yang penting berusaha agar putrinya bisa punya
adik. Kasihan, lho, mungkin sejak dulu dia mengharapkan seorang adik.”
“Ya, mudah-mudahan lah, Jeng. Rejeki akan segera datang. Eh!
Ngomong-ngomong, Jeng mau nggak kalo’ kapan-kapan kita bersama kayak
tadi lagi?”
“Naa.., ya, sudah mulai ketagihan, deh. Yaa, itu terserah situ saja.
Tapi saya nggak tanggung jawab, lho, kalo’ situ lantas bisa jadi lesbian
juga. Saya ‘kan cuma kasih contoh saja.”, jawabku sembari mengangkat
bahu dan Bu Soni hanya tersenyum.
Kemudian aku cepat-cepat berpakaian karena ingin segera sampai di
rumah, khawatir suamiku curiga dan berprasangka yang tidak-tidak. Waktu
aku pamit, Bu Soni masih dalam keadaan telanjang bulat berdiri di depan
kaca menyisir rambut. Untung kejadian ini tak pernah sampai terbuka
sampai aku tulis cerita yang aneh dan lucu ini. Soal bagaimana kemesraan
Bu Soni dan suaminya selanjutnya, itu bukan urusan saya tetapi yang
penting kelezatan liang kewanitaan Bu Soni sudah pernah aku rasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar